Senin, 24 Agustus 2015

Prinsip Kerja orang Bugis

0 komentar
Etos kerja Orang Bugis

Oleh : Andi Cambang Petta Janggo
 
Prinsip yang saya pengang adalah sebuah prinsip leluhur tau panritata" riolo "resopa temmanginggie na malomo naletei pammase dewata" jangan salah kalau kami dari suku bugis adalah pekerja keras.. Pakkareso tedde"..

Orang Bugis adalah suku perantau. di mana pun di nusantara ini kita selalu menjumpai orang Bugis. Bagi sebagian orang Bugis menjadi Saudagar adalah pilihan profesi utamanya. Di beberapa tempat, banyak saudagar Bugis yang maju dalam berusaha. Tentunya segala kemajuan yang dicapainya itu berdasarkan hasil kerja kerasnya, bermandikan keringat dan air mata.

Lalu apa yang membuat orang Bugis selalu bekerja keras? ini dikarenakan Bugis adalah salah satu suku yang paling banyak kebutuhannya . Orang Bugis ketika memasuki usia dewasa ia berpikir untuk mulai menikah, dan pernikahan di Bugis tidak murah. Setelah menikah tentunya ia berpikir untuk memiliki rumah dan kendaraan. Setelah itu tercapai mereka mulai berpiikir untuk naik Haji. Menjadi Haji adalah tujuan tertinggi dari orang Bugis.

Setelah itu tercapai, maka kebutuhannya kembali lagi ke dasar dan ingin menikah lagi, mulai lagi punya rumah baru, kendaraan baru, naik Haji lagi dan begitu seterusnya. Karena kebutuhan yang tinggi itulah yang membuat orang Bugis memiliki etos kerja keras.

Saya waktu ke papua, pernah Bilang sama Gubernur Papua, Barnabas Webu “Pak Bas…anda kalau mau memajukan orang Papua secara ekonomi maka rubahlah kultur orang papua, menjadi orang yang memiliki banyak kebutuhan, dengan begitu mereka akan jadi pekerja keras”. Ini karena rakyat di Papua meski alamnya kaya, anggarannya besar karena ada dana OTSUS 29 Triliun tapi rakyatnya tetap miskin. Banyak yang mengira bahwa Pusat selama ini menghisap kekayaan tanah papua, padahal kalau mau jujur, PAD Papua hanya 17 Triliun, sementara anggaran OTSUS yang diberikan oleh Pusat adalah 29 Triliun. Jumlah penduduk 2.9 Juta, dibagi saja uang itu maka setiap orang papua bisa dapat 10 juta per kepala.

Jadi begitulah keadaan di tanah Papua, mereka miskin karena memiliki kebutuhan sedikit. bagi mereka asal ada sagu untuk dimakan, Umbi-umbian untuk dibakar, dan sagero untuk diminum maka itu sudah lebih dari cukup. Coba bandingkan dengan orang Bugis, anak mudanya akan malu kalau tidak pakai celana merek Levi’s 505, sementara orang Papua cukup dengan menggunakan Koteka saja.

Jadi ketika saya ditanya bagaimana mengentaskan kemiskinan di Papua? saya bilang rubah kultur mereka, buat mereka punya banyak kebutuhan tapi jangan sampai konsumtif, dengan begitu mereka akan menjadi pekerja keras, untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka itu.
Minggu, 23 Agustus 2015

KESUKAAN LELAKI BUGIS

1 komentar

EMPAT KESUKAAN LELAKI BUGIS
Serta konsepsi keseimbangannya

Entah karena konstruk budaya atau karena keturunan, lelaki Bugis identik dengan empat hal. Sehingga dengan kegemaran pada salah satu, dua, tiga atau keempat-empatnya menjadi kelengkapan kelelakian seorang lelaki Bugis.

Bukan berarti bahwa keempat hal tersebut milik lelaki Bugis belaka. Akan tetapi, lelaki Bugis selalu menyenangi memiliki dan menjaga salah satu, dua, tiga atau keempat-empatnya. Adapun keempat hal itu antara lain, Batu, Besi, Ayam dan Istri.

Tulisan ini bermaksud untuk mengurai aspek keseimbangan dari keempat hal tersebut secara filosofis. Bukan pada konteks melakukan penilaian pada perspektif agama yang sepenuhnya penulis serahkan pada pembaca. Tulisan ini hanya mencoba memotret dan menafsir sisi kehidupan lelaki bugis, tidak bermaksud untuk bias gender. Atau mengagungkan kultur patriarki.

1. Batu

Jangan heran jika menemui lelaki Bugis yang gemar menyimpan dan mengoleksi batu. Tentu bukan sembarang batu. Batu yang dimaksud adalah batu mulia yang dipercaya memiliki aura atau kekuatan magis. Batu kegemaran orang Bugis adalah jenis Feroz, Akik, Akok, dan Jamrud.

Batu mulia ini sering diikat dan dijadikan cincin. Adapula yang dipasang di wanua polobessinya. Juga hiasan-hiasan yang sering digunakan pada pesta pernikahan seperti kalung.

Biasanya penggemar batu, lama-kelamaan tertarik dan menjadi penggemar besi. Begitu pula sebaliknya, penggemar besi, lama-kelamaan tertarik pada batu. Hal ini bukan kebetulan. Sebab keduanya adalah benda mati yang dipercaya memiliki tuah, kekuatan supranatural, yang sangat dibutuhkan untuk membangun citra diri seorang lelaki bugis.


Batu ini juga pada konteks, mustika atau yang sering disebut kulawu. Seringkali mustika ini didapatkan secara tak sengaja yang disebut were=keberuntungan. Bermacam-macam kulawu ini memiliki fungsi yang berbeda. Ada kulawu bessi, yang jika digunakan pemakainya tidak mempan senjata tajam. Ada kulawu air, kulawu ikan, kulawu rusa, dan sebagainya.

Pada konteks yang diperluas, batu juga berarti perhiasan emas dan perak yang sangat digemari lelaki bugis terutama kaum aristokratnya. Pusaka-pusakanya sering berhias emas dan perak. Pada sisi lain, lelaki bugis akan menemukan kesempurnaan sosialnya jika berhasil menghiasi istrinya dengan emas, perak beserta batu mulia lainnya. Makanya sangat lazim ditemukan istri-istri bugis yang memakai perhiasan emas seperti gelang, kalung dan cincin emas. Sementara lelaki bugis, paling memakai cincin emas.

Tak jarang lelaki bugis mengumpulkan beberapa batu mulia sebagai koleksi pribadinya. Selain membawa kesenangan tersendiri ketika menatap keindahan batu-batu tersebut, juga memberikan beberapa pilihan tentang kesesuaian aura dan aspek mistik batu tersebut dengan kepentingan lelaki Bugis sang pemilik batu tersebut.

2. Besi

Besi adalah hal yang sangat identik dengan lelaki bugis. Sehingga tanpa besi seperti badik, kelewang, keris, tombak ataupun parang seseorang tidak dapat disebut lelaki bugis. bahkan begitu dekatnya orang bugis dengan besi, sehingga badik dianggap sebagai saudara sendiri.

Badik biasanya disisipkan dipinggang kiri. Ini menyimbolkan sebagai tulang rusuk kiri yang disempurnakan oleh sebilah Badik. Selain itu, badik juga dianggap sebagai saudara sejati. Ketika seorang lelaki bugis mendapati masalah, maka hanya badiknyalah yang tidak akan meninggalkannya hingga akhir hayatnya.

Secara umum ada tiga jenis badik di sulawesi selatan. Antara lain, badik jenis Makassar. Cirinya, dibagian depan lancip dan bagian tengahnya agak besar. Sering juga disebut lompobattang=besar perut sebab dibagian perutnya agak membesar. Jenis kedua yaitu gecong. Badik model ini cenderung lebih langsing. Lancip didepan, agak membesar kemudian mengecil lagi didekat gagang. Badik ini umumnya digunakan didaerah Bugis. Jenis ketiga adalah badik luwu. Model ini lancip didepan kemudian dibagian tengah hingga belakang rata.

Dalam khazanah perbesian, dikenal pamoro = pamor yang merupakan teknik panre=tukang besi dalam membuat urat-urat besi yang kelihatan indah. Beberapa pamor yang terkenal seperti bunga pejje, bori bojo, daung ase, kurissi, uleng-mpuleng dan ure tuo. Pamor-pamor tersebut dianggap mengandung kekuatan tertentu terhadap pemakainya.

Selain pamor, juga dikenal istilah mausso. Yaitu tingkat kekuatan besi dalam mematikan lawan. Tingkat maussonya sebuah besi dapat diuji sendiri dengan menempelkan ujung besi dengan ujung jari. Besi yang mausso akan terasa gatal dan seperti ada sengatan listrik kecil.

Bentuk dan tujuan pembuatan besi juga sangat diperhatikan oleh lelaki bugis. Misalnya besi yang terbelah didepan disebut massumpang buaja=bermulut buaya dan terbelah dipunggung badik disebut Cappa sikadong. Cappa sikadong ini dianggap bertuah untuk dipakai melamar atau berdagang. Ini yang disebut sissi’. Yaitu efek langsung yang dapat dirasakan pengguna ketika membawa besi tersebut. Ada besi yang memang didesain untuk penjaga rumah, untuk bertarung, untuk merantau, untuk berdagang dan sebagainya.


Selain sissi’ dan pamor besi, lelaki bugis juga memperhatikan kesesuaian ukuran besi dengan proporsi tubuhnya. Untuk mengukur hal itu, dipakai teknik massuke dengan berbagai variasinya. Bila dilihat dari ukuran panjang besi dari ujung hingga ke gagang, suke yang sering digunakan adalah dua jari, atau empat jari, atau hitungan jempol. Ukuran yang dianggap ideal adalah satu jengkal untuk badik atau sepanjang (maaf) kelamin pria. Sepanjang lengan atas dan bawah untuk parang dan alameng. Dan sesiku untuk keris.

Ada juga teknik massuke dengan menggunakan daun. Lidi dan kain, juga dipakai sebagai teknik massuke untuk mengetahui arah geografis (utara,timur,barat dan selatan) penggunaan besi saat bertarung. Dan masih banyak lainnya teknik massuke yang tidak sempat dipaparkan disini.

Biasanya lelaki bugis mendapatkan besi sebagai warisan dari leluhur. Namun, lelaki bugis tidak berhenti hanya dengan menyimpan warisannya. Lelaki bugis selalu tertarik untuk memiliki lebih dari satu besi. Sehingga lama-kelamaan lelaki bugis biasanya memiliki beberapa besi dengan spesifikasi tertentu. Beberapa lelaki bugis ketika hendak keluar rumah, ia berkomunikasi dengan besi-besinya yang dianggap cocok untuk menemaninya, sesuai spesifikasi besi dengan urusannya diluar rumah. Sehingga ia memberi kesempatan untuk “menggilir” besi-besi yang dipakainya.
Untuk senjata besi silakan kunjungi artikel "Terjemah dan Transliterasi Lontara Bessi" "Cara Membersihkan Polobessi" "Pamor dan Sissi pada Polobessi Sulawesi" dan "5 Rahasia Keunggulan Badik dan Parewa Bessi Sulawesi"

3. Ayam

Orang bugis dulu hingga sekarang sangat gemar dengan ayam. Rumah tiang orang bugis ditinggali dibagian tengah dan dijadikan penyimpanan dibagian atas. Sementara dibagian bawah selalu dijadikan kandang ayam.

Hampir di tiap bawah rumah orang bugis kita temukan Tarata’=tempat bertenggernya ayam dan baka=tempat bertelurnya ayam. Artinya, hampir semua orang bugis memelihara ayam. Ayam ini umumnya untuk dikomsumsi terutama pada acara ritual (maccera), acara keagamaan (lebaran) dan menghormati tamu (menu ayam). Ayam dibiarkan mencari makannya sendiri. Adapun telurnya dimanfaatkan untuk konsumsi seperti kue-kue, menu makanan dan obat kuat dicampur madu asli.

Selain aspek konsumsinya, ayam juga sering dijadikan aduan. Sejak zaman dulu, orang bugis menyukai ayam aduan. Sampai-sampai, adu ayam selalu menjadi acara wajib tiap pesta. Seperti halnya besi, orang bugis sangat memperhatikan sissi dari ayamnya. Sissi dapat dilihat dari bulu (bakka, barumpung, buri dst), proporsi badan ayam, bentuk pial, ekor, kaki, bentuk paruh dan sebagainya. Lelaki bugis juga memperhatikan waktu yang tepat bagi ayamnya untuk duel. Sehingga tidak sembarang waktu ia mengadu ayamnya.

Seiring perkembangan zaman, saat ini populer Manu Gaga atau ayam gagap. Ayam ini tidak dinilai dari kemampuan bertarungnya, atau pada bulunya. Namun pada kualitas suara yang dihasilkan. Baik ayam aduan untuk disabung maupun untuk dipertandingkan suaranya, sama-sama membutuhkan perawatan khusus. Mulai dari pemilihan pakan, mengurut ayam, memandikan, melatih, hingga mengawinkan ayamnya dengan ayam betina yang ideal dalam menurunkan bibit-bibit unggul. Bagi pecinta ayam, proses ini adalah sebuah seni. Ada kenikmatan tersendiri bagi yang bersangkutan. Mungkin bagi orang lain, adalah hal yang membosankan. Namun sekali lagi, hal ini adalah kenikmatan bagi pecintanya.

Biasanya lelaki bugis penggemar ayam, lama kelamaan akan menjadi pengkoleksi ayam. Memiliki beberapa ayam merupakan kesenangan tersendiri. Bagi sesama pengkoleksi ayam, pengetahuan tentang spesifikasi ayam masing-masing menjadi informasi berharga dalam transaksi, pertukaran maupun perkawinan ayam-ayam mereka.Ayam aduan adalah sisi maskulin dan ayam konsumsi adalah sisi feminim.

Pada konteks yang lebih luas, ayam disini juga berarti unggas lain seperti burung perkutut. Selain karena kemerduan suaranya, sebagian lelaki bugis juga memelihara burung perkutut karena sisi mistis yang terkandung didalamnya seperti mencegah pencurian atau kebakaran. Sebagaimana layaknya ayam, perkutut ini juga membutuhkan perawatan ekstra. Kemerduan suara perkutut adalah sisi feminimnya, sedang fungsi mistis perkutut adalah sisi maskulinnya.

4. Perempuan

Tentu kelelakian seseorang akan dipertanyakan bila tidak memiliki ketertarikan pada perempuan. Bagi lelaki bugis, perempuan memiliki arti yang sangat dalam. Satu sisi, perempuan adalah hal berharga yang harus dijaga dan dianggap siri. Di sisi lain, memiliki beberapa istri adalah salah satu kebanggaan lelaki bugis. hingga muncul plesetan BUGIS= Banyak Uang Gandakan Istri.

Proses menemukan pasangan ini bermakna maskulin. Dalam artian, usaha-usaha dan perjuangan lelaki adalah sesuatu yang sangat dihargai. Hingga muncul prinsip 3A, Akurangsiriseng (ketidakmaluan), Awaraningeng (keberanian) dan Atemmanginggireng (sikap pantang menyerah). Bahwa lelaki bugis, tak boleh malu menyatakan perasaannya pada perempuan yang disenanginya. Citra lelaki bugis akan jatuh jika ia kehilangan keberanian untuk menyatakan cintanya. Dan lelaki bugis akan dianggap pecundang jika ia gampang putus asa dalam mendapatkan cintanya.

Epos Ilagaligo secara singkat mengisahkan perjalan dan perjuangan Sawerigading mendapatkan cinta sejatinya yaitu We Cudai. Dikisahkan bahwa, Sawerigading harus berlayar 40 hari 40 malam. Bertarung melawan 7 bajak laut. Terakhir, harus berperang melawan We Cudai sebelum lamarannya diterima. Itupun, Sawerigading harus menyamar untuk bertemu dengan We Cudai.

Nampaknya, cuplikan kisah cinta Sawerigading dan We Cudai sangat mempengaruhi cara berpikir lelaki bugis. sehingga perjuangan mendapatkan cinta adalah sesuatu yang sangat diapresiasi oleh orang bugis. untuk itu, seorang lelaki bugis dilengkapi berbagai media untuk memudahkan perjuangannya seperti mantra dan gaukeng cenning rara, kawali cappa sikadong dan berbagai media mistis lainnya. Namun tidak melulu di ranah metafisik, di ranah teks, lelaki bugis (tempo dulu) terkenal terampil merayu dalam bahasa sastra yang indah yang hingga kini tersimpan dalam sebuah galigo

Gellang ri wata majekko (kuningan bengkok yang ditarik=pancing=MENG)
Anrena menre’e (makanan khas orang mandar=pisang=LOKA)
Bali ulu bale (lawan kepala ikan=ekor=IKKO)
MENG+LOKA+IKO = saya mau kepada anda

Poligami dizaman dulu merupakan hal wajar. Selain disebabkan aspek politik dan perkembangan generasi (sebab populasi manusia masih sedikit dimasa lalu sementara alam masih banyak yang belum tergarap), juga memiliki banyak istri menyimbolkan kekuatan unsur maskulin seorang lelaki bugis.


Bagan 1
Unsur maskulin dan feminim pada empat hal yang berkaitan dengan lelaki bugis.



Bagan 2

Unsur maskulin dan feminim pada empat hal yang berkaitan dengan lelaki bugis

Diantara semua ritual adat bugis, pernikahan adalah ritual yang terlama dan paling rumit. Hal ini tidak lepas dari pentingnya konsepsi keseimbangan aspek maskulin dan feminim dalam paradigma berpikir orang Bugis. Sengkang, 27 september 2012. 03.07 am wita

Kamis, 20 Agustus 2015

Permainan Rakyat Bugis / Cule-culena anak ogi'e

0 komentar

Permainan Rakyat Bugis

Dapat dikatakan bahwa hampir semua permainan rakyat tradisional Bugis dilakukan setelah panen. Hal tersebut dikarenakan oleh waktu panen yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Dan untuk mengisi waktu lowong yang cukup panjang maka lahirlah berbagai macam permainan rakyat.

1. Marraga

Marraga/Mandaga adalah bahasa Bugis yang didalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama bermain atau bersepak raga. Penamaan ini berasal dari jenis peralatan permainan yang digunakan yaitu raga. Adapun istilah raga bersumber dari makna dan fungsi permainan, yaitu siraga-raga artinya saling menghibur. Pada zaman dahulu, seorang pemuda belum bias menikah jikalau belum mahir bermain raga. Seorang ahli permainan raga merupakan kebanggaan dan dikagumi masyarakat yang berarti turut meningkatkan status sosial seseorang.

Raga yaitu sejenis bola yang terbuat dari rotan yang dibelah-belah, diraut halus kemudian dianyam, umumnya berukuran dengan diameter sekitar 15 cm.

Asal usul permainan raga sehingga dikenal di daerah Sulawesi Selatan, diperkirakan berasal dari Malaka atau pulau Nias. Sehubungan dengan ini, W. Kaudren (Games and Dances In Celebes, 1927), secara tegas meragukan bahwa berasal dari Malaka, dengan alas an masyarakat tradisional yang ada di Malaka tidak mengenal permainan ini. Dia lebih cenderung pada pendapat bahwa permainan ini berasal dari daerah pantai barat Sumatera yaitu pulau Nias, karena daerah tersebut umumnya penduduk mengenal permainan ini. Pada mulanya permainan raga hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan Bugis saja, namun didalam perkembangannya selanjutnya dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Ada dua hal yang merupakan unsure pokok permainan raga yaitu Sempek atau sepak dan belo yakni variasi.

2. Maggassing

Penamaan permainan ini bersumber dari peralatan pokok yang digunakan dalam bermain yaitu Gasing. Asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, namun dugaan yang paling kuat berasal dari Sumatera, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kauderen dan Matthes dalam bukunya “Tot Bijdragen De Ethnologie Van Zuid Celebes”. Bahwa kemungkinan permainan ini berasal dari Sumatera, kemudian berkembang ke daerah-daerah lainnya sesudah Islam melalui hubungan dagang. Khususnya di Sulawesi Selatan kemungkinan ini dapat diterima karena sejak lama telah terjadi kontak dengan orang-orang Melayu, khususnya Sumatera.

3. Maccuke

Berasal dari bahasa Bugis yaitu Cukke yang artinya ungkit, yang dengan demikian Maccukke berarti bermain ungkit. Permainan cukke termasuk permainan musiman yang umumnya dilakukan sedudah panen sampai pada waktu menjelang turun ke sawah dan dilakukan pada siang hari.

4. Maggaleceng

Permainan dilakukan malam sampai pagi hari sebagai acara rangkaian perkabungan, dimana penyelenggaraannya berlangsung sampai pada upacara pemasangan batu bata dan nisan kuburan orang yang meninggal yang didaerah Bugis disebut dengan Matampung. Maggaleceng biasanya berlangsung selama tujuh malam , 40 malam ataukah 100 malam jika yang berkabung adalah keluarga raja. Dengan melihat suasana permainannya menunjukkan bahwa permainan ini juga berfungsi untuk menghibur keluarga yang berkabung dan selama berjaga-jaga supaya tidak mengantuk. Pada zaman dahulu, oleh masyarakat tradisional Bugis, permainan ini termasuk jenis permainan sakral, berhubungan dengan nuansa magis.

5. Massaung Manuk

Berasal dari kata saung yang berarti sabung dan manuk yang berarti ayam. Dilakukan untuk memeriahkan pesta-pesta adat misalnya perkawinan, pelantikan raja-raja, pesta panen dan sewaktu mengeringkan padi di lapangan. Pada waktu silam, permainan ini merupakan kegemaran kaun bangsawan pada umumnya dan juga dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Dikalangan raja-raja terkadang mengadakan pertandingan antar kerajaan, yaitu dengan mengundang raja-raja disekitarnya. Sehubungan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, maka yang disabung bukanlah ayam sembarangan. Tetapi yang telah dimantra atau jampi-jampi dan dirawat dengan cermat. Usia permainan ini sudah sangat tua dan dijumpai hamper diseluruh nusantara. Menurut cerita rakyat Bugis, bahwa dahulu kala yang disabung adalah manusia, yang diselenggarakan oleh kalangan raja-raja/bangsawan sebagai hiburan sekaligus untuk mendapatkan Tobarani (pemberani). Tetapi dikemudian hari karena dianggap terlalu kejam dan merendahkan martabat manusia, maka diganti dengan ayam. Masyarakat tradisional Bugis berkeyakinan bahwa dengan senantiasa melihat pertandingan dan darah, maka akan menambah keberanian dan kesaktian.

6. Maggale

Merupakan sejenis permainan yang menggunakan Kaddaro atau tempurung kelapa. Pada zaman dahulu, permainan ini umumnya dilakukan sesudah panen dan juga pengisi waktu senggang di kala pagi hari atau sore hari. Permainan ini tidak didasarkan pada latar belakang stratifikasi sosial dan karenanya sangat merakyat dalam masyarakat tradisional.

7. Mallogo

Penamaannya bersumber dari peralatan utama bermain yaitu Logo (berbentuk cangkul). Bentuknya yang seperti cangkul mencerminkan nilai budaya Bugis yang bersandar pada kehidupan agraris. Biasanya dilakukan sesudah panen dan juga pada waktu senggang lainnya. Logo terbuat dari tempurung kelapa yang berkualitas baik dan berbentuk segitiga yang ujung-ujungnya ditumpulkan.

8. Massalo

Pada mulanya dimainkan pada malam hari kala bulan purnama setelah panen usai dan selanjutnya dilakukan pada waktu senggang lainnya. Permainan ini merupakan permainan rakyat pada umumnya untuk anak-anak belasan tahun dan kadang-kadang juga dilakukan oleh para remaja.

9. Mabbangngak

Merupakan permainan musiman yaitu setelah panen kemiri, namun selama masa pati ngelle yaitu sesudah padi dituai sampai turun sawah berikutnya. Juga senantiasa diadakan karena umumnya anak-anak/remaja yang hobi memiliki persiapan kemiri, khususnya bagi anak-anak gembala dijadikan pengisi waktu senggang. Permainan ini merupakan permainan dari golongan masyarakat biasa atau rakyat kecil, dimana kehadiran dan perkembangan permainan ini ditunjang oleh keadaan alam masyarakat Bugis, terutama mereka yang hidup dan bermukim di daerah-daerah pertanian/perkebunan. Perlengkapan permainan terdiri atas buah kemiri, yang dalam bahasa Bugis disebut Pelleng.

10. Mallongngak

Berasal dari kata longak yaitu nama mahluk halus sejenis jin yang bentuk badanya sangat tinggi, dimana kata longak diartikan juga dengan tinggi atau jangkung. Sehubungan dengan penamaannya ini, DR. B. F. Matthes didalam bukunya “Bijdragen Tot De Ethnologie Van Zuid Celebes”, mengemukakan bahwa kemungkinan Mallongnga berasal dari nama seorang raksasa. Merupakan permainan yang digemari rakyat pada umumnya karena cukup menarik, dengan melihat bentuk dan cara bermain, termasuk jenis permainan olahraga. Sehubungan dengan fungsi Mallongnga, DR. B. F. Matthes, berdasarkan hasil penelitiannya, mengemukakan bahwa kemungkinan dahulu permainan ini merupakan salah satu bentuk pertunjukan upacara. Didalam kehidupan masyarakat tradisional Bugis dimasa silam, penyelenggaraan permainan ini berkaitan dengan problema magis yang tentunya tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat yang mistik religius. Antara lain dapat dilihat dalam fungsi permainan yang dianggap sebagai penangkal penyakit. Apabila disuatu kampung terdapat penyakit yang merajalela, maka tujuh orang pria dari kampung tersebut dengan berpakaian putih semacam talqun, Malongak mengitari kampung selama tujuh kali dengan maksud mengusir roh jahat yang menyebabkan wabah tersebut. Dengan cara ini mereka yakin bahwa Longngak yaitu mahluk halus yang dianggapnya baik itu akan turut membantu mereka. Didalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah ajaran-ajaran Islam tersebar luas dalam masyarakat Bugis, maka fungsi religius ini tidak berfungsi lagi, melainkan dilakukan hanya sekedar bermain di kalangan anak-anak dan remaja. Mengenai asal usul permainan ini belum dapat dipastikan benar, sebab selain di daerah Bugis, juga dijumpai dibeberapa daerah lainnya seperti Minahasa dan Mongondou di Sulawesi Utara yang disebut Mogilangkadan. Orang Mori di Palu dan Poso menyebutnya Motilako, di pulau Jawa dikenal dengan nama Jangkungan dan juga terdapat di pulau Buton Sulawesi Tenggara dan di Sumatera. DR. B. F. Matthes mengemukakan bahwa Mallongnga dijumpai pula di Filipina, Malaysia dan Jepang. Berdasarkan penyebarannya ini, Matthes memperkirakan bahwa Mallongnga di Sulawesi Selatan kemungkinan dari Filipina melalui Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Selanjutnya Mathhes mengatakan kemungkinan Mallongnga di Indonesia lebih tua dari kebudayaan Hindu karena ditemukan di banyak tempat yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu. Misalnya dikalangan orang-orang Polynesia, Mallongnga merupakan salah satu kebudayaan penting yang ada sejak dahulu. Perlengkapan permainan terdiri atas dua batang bambu yang kuat dan panjangnya lebih dua kali tinggi badan yaitu sekitar 3 meter. Mengenai panjang bambu tergantung pada tingkat perkembangan usia dan keberanian seorang pemain.

11. Majjeka

Berasal dari kata Jeka yang artinya jalan. Merupakan permainan masyarakat pada umumnya oleh karena bahan utamanya mudah diperoleh. Perlengkapan permainan terdiri atas tempurung kelapa yang utuh dan kuat dan tiap belahan ujungnya dibei lubang. Juga terdapat dua utas tali yang ujungnya/panjangnya kurang lebih 1,5 meter.

12. Mappasajang

Berasal dari kata Sajang yang artinya melayang. Sedangkan orang Bugis yang berdiam di Sidenreng Rappang menamainya Malambaru, berasal dari kata Lambaru, yakni ikan pari. Penamaan ini berdasarkan kepada bentuk peralatan pokok dari permainan ini, yaitu menyerupai ikan pari. Dan saat ini lebih populer dengan nama permainan laying-layang. Bentuk dan ragam hias layang-layang berbagai macam, tetapi masyarakat Bugis tradisional umumnya menggunakan bentuk dan corak binatang. Menurut sejarahnya bahan yang digunakan pada mulanya adalah jenis dedaunan yang lebar dan telah kering kemudian diberikan tali. Setelah penggunaan kertas dikenal, mulailah dijadikan sebagai bahan utama pembuatan layang-layang.

13. Maggeccik

Berasal dari kata geccik yang artinya menyentik. Merupakan permainan tradisional yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat biasa. Peralatan permainan adalah biji-bijian, umumnya yang digunakan adalh biji asam.

14. Mappolo Beceng/Mallappo Pinceng

Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Didalam penyelenggaraan permainan, tidak dilakukan pembauran antara pria dan wanita. Dengan kata lain, yang pria bermain dengan sesamanya dan wanita juga bermain dengan sesamanya.

15. Massantok

Di daerah Bugis, permainan ini populer dengan nama Massantok, kecuali orang Bugis yang berdiam di Soppeng menyebutnya Maggalantok. Termasuk jenis permainan yang dapat dilakukan oleh semua golongan masyarakat. Kehadiran permainan ini sangat berkaitan dengan kegemaran suku Bugis menunggang kuda. Peralatan permainan terdiri atas sebuah batu besar yang akan dijadikan sebagai sasaran lontaran permainan dan sebuah batu agak kecil dan pipih sebesar genggaman tangan untuk masing-masing pemain sebagai alat pelempar.

16. Rengngeng

Dewasa ini, rengngeng lebih populer dengan nama perburuan rusa. Masyarakat tradisional Bugis melakukan secara kolektif sesudah panen atau pada waktu jagug sudah hampir berbuah. Pada masa silam, merupakan permainan kegemaran kaum bangsawan, dimana Rusa adalah salah satu binatang liar yang digemari karena dagingnya enak. sebagai suatu kegemaran pada mulanya timbul dan dilakukan oleh kaum bangsawan sebagai suatu hiburan kreatif sekaligus melatih ketangkasan personal untuk menghdapi kemungkinan perang. Perburuan Rusa juga digunakan pula untuk mencari bibit-bibit Tobarani yang tangguh dan gesit.

17. Mattojang

Mattojang adalah penamaan permainan di daerah Bugis, berasal dari kata tojang. Dalam bahasa Bugis lainnya disebut Mappare, berasal dari kata pere. Kata Tojang dan pere mempunyai arti yang sama, yaitu ayunan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan permainan ini adalah permainan ayunan atau berayun. Pada umumnya Mattojang diselenggarakan dalam rangka memeriahkan pesta-pesta tertentu, yaitu pesta panen, pernikahan dan kelahiran seorang bayi. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini diselenggarakan oleh kalangan bangsawan/raja-raja atau penguasa adat. Kehadiran permainan ini tidak bias dilepaskan dari kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Menurut mitos yang melatarbelakangi penyelenggaraan permainan bahwa dimaksudkan untuk mengingatkan kembali prosesi diturunkannya manusia yang pertama yaitu Batara Guru dari Boting Langiq atau kayangan ke bumi. Beliau diturunkan ke bumi dengan tojang pulaweng atau ayunan emas. Batara Guru inilah yang dianggap sebagai nenek moyang manusia dan merupakan nenek dari Sawerigading, tokoh legendaris yang terkenal dalam mitos rakyat Bugis. Kemudian berkembang dalam bentuk permainan sebagai tanda syukur atas berhasilnya panen. Menurut Kauderen bahwa permainan ayunan kemungkinan berasal dari Jawa yang mulai masuk dan berkembang di Indonesia bersamaan dengan kedatangan pengaruh Hindu. Hal ini didasarkan pada persamaan waktu penyelenggaraannya serta cara pelaksanaannya, baik di Jawa maupun di India. Adapun perlengkapan Mattojang kuno terdiri atas dua batang kelapa atau bambu betung dengan tinggi kurang lebih 10 meter untuk tiang ayunan. Tali yang terbuat ari kulit kerbau yang dililit dan panjangnya sedikit lebih pendek dari tiang ayunan. Tudangeng merupakan tempat duduk yang terbuat dari kayu. Peppa yaitu alat penarik ayunan yang terbuat dari rotan atau tali sabut yang panjangnya 3-4 meter, dimana salah satu ujung peppa dikaitkan pada bagian bawah larik. Mattojang dilakukan oleh minimal 3 orang. Seorang berayun dan dua orang yang menarik dan mengayun-ayunkan kemuka dan ke belakang silih berganti. Pengayunan ini disebut Padere.

18. Mappadendang


Berasal dari kata dendang yang berarti irama atau alunan bunyi. Pada masa silam, mappadendang dilakukan di malam hari sewaktu bulan purnama. Selain itu diselenggarakan dalam kaitannya dengan upacara tertentu yakni pernikahan dan panen yang berhasil. Mappadendang hanya dilakukan oleh gadis-gadis dan pemuda-pemuda dari kalangan masyarakat biasa. Pada dasarnya permainan ini berasal dari bunyi tumbukan alu ke lesung yang silih berganti sewaktu menumbuk padi. Irama ini kemudian dikembangkan mnjadi mappadendang dengan menambah bobot irama tumbukan alu ke lesung. Pada fase berikutnya, permainan ini lebih dikembangkan lagi, dimana alunan irama lebih teratur disertai dengan variasi bunyi dan gerakan bahkan diiringi dengan tarian.

19. Makkurung Manu


Berasal dari kata kurungeng yang artinya kurungan dan manuk yang berarti ayam. Jadi yang dimaksudkan adalah permainan mengurung ayam. Penamaan permainan ini lebih bersifat simbolis. Termasuk jenis permainan rakyat untuk golongan anak-anak. Pada mulanya hanya merupakan permainan sembunyi-sembunyian. Akan tetapi karena kepercayaan masyarakat dulu bahwa banyak anak-anak yang hilang disembunyikan oleh mahluk halus yang bernama nasobbu talimpau. Maka pada umumnya anak-anak dilarang bermain sembunyi-sembunyian di malam hari. Kemudian muncullah permainan Makkurung Manuk yang dianggap lebih praktis dan berguna.

20. Maggunreco

Maggunreco adalah penamaan permainan ini didaerah Bugis umumnya. Di daerah Bugis Sidenreng Rappang lebih dikenal dengan nama Majepe atau Attele. Permainan ini dilakukan sewaktu suatu keluarga berkabung, yaitu pada malam pertama jenazah dimakamkan sampai pada waktu-waktu tertentu, seperti malam ketujuh, keempat puluh dan keseratus. Lamanya penyelenggaraan permainan bergantung kepada derajat kebangsawanan dan kemampuan materil seseorang. Pada masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya diselenggarakan apabila yang berkabung adalah golongan bangsawan. Adapun yang bermain dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa pembatasan status sosial seseorang. Puncak acara ini ialah pada malam hari malam keempat puluh. Menjelang esok harinya diselenggarakan upacara Mattampung yaitu penyusunan batu bata dan nisan permanen. Penyelenggaraannya berhubungan erat dengan kepercayaan masyarakat Bugis tradisional, bahwa orang yang mati sebelum cukup empat puluh hari empat puluh malam, masih berada disekitar rumah dan keluarganya. Sesudah itu barulah san roh pergi ke tempatnya yang abadi. Dengan demikian, puncak acara yang diselenggarakan pada malam keempat puluh tersebut merupakan perpisahan agar perjalanan rohnya selamat. Pada mulanya permainan ini bersifat religius, pantang dilakukan pada hari-hari lain karena mengundang kematian. Namun dengan masuknya Islam, permainan ini kemudian dilakukan disembarang waktu.

21. Massempek

Berasal dari kata sempek yang berarti sepak. Dengan demikian yang dimaksudkan adalah permainan saling menyepak atau berlaga dengan menggunakan kaki. Diselenggarakan pada pesta atau upacara adat, misalnya panen, pernikahan, pelantikan raja dan kadang-kadang dilakukan untuk mengisi waktu senggang. Dalam masyarakat Bugis tradisional, permainan ini hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Pada mulanya penyelenggaraan permainan ini hanya sekedar keisengan dari kalangan bangsawan untuk menghibur diri dengan jalan mengadu hamba sahayanya. Dikemudian hari berkembang menjadi permainan yang digemari oleh masyarakat umum.

22. Mallanca

Berasal dari kata lanca, yaitu menyepak dengan menggunakan tulang kering, yang sasarannya ialah ganca-ganca, yakni bagian kaki diatas tumit. Permainan ini termasuk yang digemari oleh masyarakat Bugis tradisional dalam rangkaian penyelenggaraan pesta-pesta adat dan hanya dilakukan oleh kalangan budak (ata’). Sebagaimana halnya dengan Massempek, maka Mallanca ini pada mulanya hanya sekedar hiburan kalangan bangsawan yang kemudian turut digemari oleh masyarakat luas.

23. Mammencak

Berasal dari kata mencak yang artinya pencak atau silat. Jadi yang dimaksud adalah permainan pencak silat. Dilakukan pada pesta-pesta/keramaian adat yang diselenggarakan oleh suatu keluarga serta upacara adat lainnya yang diselenggarakan oleh masyarakat. Asal permainan ini diperkirakan dari Semenanjung Malayu melalui Sumatera, dengan perantaraan dari orang-orang Melayu yang dating ke Sulawesi Selatan dimasa silam. Hal ini didasarkan pada penamaannya yang juga disebut dengan Silak Melayu atau Silat Melayu.

24. Maccubbu

Berasal dari kata cubbu yang berarti sembunyi, atau dengan kata lain Maccubbu berarti bermain sembunyi-sembunyian. Termasuk kedalam permainan ini adalah Mallojo-lojo, Enggo, Mappajolekka dan Mallonci. Pada zaman dahulu, dimainkan pada bulan purnama, dimana ketika itu anak-anak keluar rumah bermain bersuka cita. Merupakan permainan rakyat yang sangat disukai oleh kalangan anak-anak.

Asal Usul Raja Bugis

0 komentar

Asal Usul Raja Bugis 

Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung(orang bunian) manusia yang berasal dari langit, turun ke bumi. To Manurung ini membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami 3 kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?

PERISTIWA ‘pendaratan’ pertama:

dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.

Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.

Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.

Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.

Untuk mengatasi kekacauan ini, ‘pendaratan’ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.

Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.

Kejayaan masa Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.

‘Pendaratan’ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.

To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).

Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langi’ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.

Peribahasa Bugis menyebutkan: “Makkeda tenribali, mette tenrisumpalang.” Artinya: “Berkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.

Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.” Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.

Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ‘diusir’ dari kerajaannya pada tahun 1593.

Pribahasa Bugis, Ada-adanna tho riolota"

0 komentar

Pribahasa Bugis, Ada-adanna tho riolota"

  • tEpEtuu mao ePeG, tEpolo msElomoea. Teppettu maoompennge’, teppolo massellomoe’.

(Tak akan putus yang kendur, tak akan patah yang lentur).

Artinya: Peringatan agar bijaksana menghadapi suatu permasalahan. Toteransi dan tenggang rasa perlu dipupuk supaya keinginan tercapai tanpa kekerasan.

  • turukiea ainpEsu pdai tonGiea lopi sEbo. Turukie’ inapessu, padai tonangie’ lopi sebbok. 

(Menuruti hawa nafsu ibarat menumpang perahu bocor).

Artinya: Jika menuruti hawa nafsu, lenyaplah pengendalian diri. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilandasi hawa nafsu, yang berlebihan bisa berakhir dengan kegagalan.  

  • rEb siptoKo, mli siprep ; siruai emRE tE siruai no, mlilu sipkaiGE maiGEpi mupj.Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja. 

(Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti).

Artinya: Pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Hal itu akan akan tenwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

  • pl aurgea, tEbek toGEeG tEcau meagea, tEsieaw siyulea. Pala uragae’, tebakke’ tongennge’ teccau mae’gae’, tessie’wa siyulae’.

(Berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan).

Artinya: Tipu day, mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak akan hilang. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena akan ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

  • troai tElE linoea, tElai epsonku ri msglea.  Taroi telleng linoe’, tellaing pe’sonaku ri masagalae’. 

(Biar dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan).

Artinya: Apapun yang terjadi, keyakinan yang sudah dihayati kebenarannya tidak boleh bergeser, karena segala kesulitan di dunia ini hanyalah tantangan untuk menguji keimanan sescorang.

  • aj mupoloai aolon tauea. Ajak mapoloi olona tauwe’. (Jangan memotong (mengambil) hak orang lain.

Artinya: Memperjuangkan kehidupan adalah sesuatu yang wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan dengan kekerasan yaitu saling merampas rezeki orang lain.
nerko mealoko medec ri jm jmmu atGko ri bet lea. aj muaolai betl sigru gruea tutuGi betl mkEsieG tuPun.
Nare’kko mae’lokko made’ceng ri jama-jamammu, attanngakko ri bate’lak-e’. Ajak muolai bate’lak sigaru-garue’, tuttungngi bate’lak makessingnge’ tumpukna. (Kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya).

Artinya: Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tidak tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi dengan tujuan yang pasti dan jalan yang benar.
tuupuai n tEri tuRuGi n micw.
Tuppui naterri, turungngi name’cawa. (Mendaki ia menangis, menurun ia tertawaun).

Artinya: Setiap keadaan ada timbal baliknya. Ada dua hal yang silih berganti dalam kehidupan. Maka bersiaplah menghadapi dua kemungkinan itu. Jangan takabur (sombong) jika sedang merasakan kebahagiaan, karena nanti akan merasakan kesedihan juga. Demikian pula sebaliknya, jangan terlampau bersedih jika dirundung malang, karena dari situlah proses terjadinya kebahagiaan bakal dimulai.
mN mN muai ealomu tbolo bErE iaiymi npitoko mnu.
Manya manya mui ellokmu tabbollo berrek, iami napittokko manuk. (Berhati-hatilah dengan hasratmu, kelak tertumpah bagaikan beras lalu engkau dicotok ayam).

Artinya: Memperlihatkan hasrat yang berlebihan sama halnya nunjukkan kepribadian yang lemah. Dengan menampakkan kelemahan berarti membuka peluang bagi orang yang bermaksud jahat melaksanakan niatnya.
aiy medeceG mbua tsrm.
Ia de’ce’nnge’ mabuang tassanrama. (Kebaikan itu meski pun jatuh tersangkut jua).

Artinya: Kebaikan kadang tertutup oleh gelapnya keadaan. Akan tetapi suatu saat akan tampak dalam nurani manusia yang mencintai kebaikan.

siedec edecn ad edea riyolon aEK rimuRi. sijn ad eaK riyolo ed ri muRi.
Side’ce’ng-de’ce’nna ada de’k-e’ riolona, engka rimumnri. Sijakna ada engka riolona de’k-e’ rimunri. (Sebaik-baiknya bicara ialah yang kurang komentar tetapi didukung oleh kenyataan. Seburuk-buruk bicara adalah yang banyak komentar tetapi tidak didukung oleh kenyataan).

Artinya: Sedikit bicara tetapi banyak kerja lebih baik daripada banyak bicara tetapi tidak bekerja.
auG tbkea ri subuea nerko noPoki aEso pjni baun.
Unga tabbakkae’ ri subue’ nare’kko nompokni essoe’ pajani baunna. (Kembang mekar di waktu subuh, di kala matahari terbit baunya pun hilang).

Artinya: Jangan langsung percaya atau gembira mendengar berita atau janji yang muluk-muluk, sebab berita tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kenyaataan.
ecec pon ekl ekl tEGn spu ri plE cpn.
Cecceng Ponna, kella-kella tenngana, sapuripalek cappakna. (Serakah awalnya, tamak pertengahannya, licin tandas akhirnya).

Artinya: Sejauh keserakahan bertambah, sejauh itu pula menghanyutkan yang baik dan akan berakhir dengan kehancuran.
sd mpbti ad, ad mpbti gau, gau mpbti tau.
Sadda mappabati' ada, ada mappabati' gau, gau’ mappabati' tau. (Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia).

Artinya: Kedudukan dan peranan orang Bugis lebih ditentukan oleh perbuatan daripada nama yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata dan perbuatan seseorang akan menentukan derajat nilai seseorang dalam masyarakat.

Iyya nanigesara’ ada' 'biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalotongi ase’yo. (Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi).

Artinya: Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakat, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta.
pur bbr soPEku pur tKisi goliku aulEbirEni tElEeG nto wliea.
Pura babbara' sompekku, pura tangkisi' golikku, ulebbirenni tellennge’ nato'walie’.(Layarku sudah berkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali).

Artinya: Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca (mendahulukan pertimbangan yang matang). Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang, jangkar, serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping itu juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar.
alai eced riesesn aEKai mepedec sePyGi meagea ri esesn aEKai meag mksol
Alai cedde'e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang. (Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan).

Artinya: Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan merupakan suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.
blC mnEmuai wrprmu aebena mnEmuai aiy kiy aj muplaoai modlmu aEREeG beg lbmu.
Balanca manemmui waramparammu, abbeneng manemmui, iyakiya aja' mupalaowi moodala'mu enrennge’ bagelabamu. (Boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk beristri, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu).

Artinya: Peringatan pada para pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan usahanya.
siri eami riaorow ri lino.
Siri'e’ mi rionrowong ri-lino. (Hanya untuk siri'itu sajalah kita tinggal di dunia).

Artinya: Dalam pepatah ini ditekankan bahwa siri’ sebagai identitas sosial dan martabat pada orang Bugis, dan jika memiliki martabat itulah, hidup menjadi berarti.
adEea tEmek an tEmek apo.
Ade'e’ temmakke-anak' temmakke’-e’po. (Adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu).

Artinya: Dalam menjalankan norma-norma adat tidak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran, maka harus dikenakan sanksi (hukumman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.

Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na. (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang kedalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul).

Artinya: Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.
mtulu pEerjo tEpEtu sirRE pdpi mpEtu iaiy.
Mattulu’ perejo te’pe’ttu siranreng, padapi mape’ettu iya. (Terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya)

Artinya: Ungkapan ini melambangkan eratnya persahabatan. Masing-masing saling mempererat dan memperkuat, sehingga tidak putus jalinannya. Apabila putus satu, maka semua putus.
naiy riysEeG pnw nw mpciGi riatin spai ri nwnan nloloGEGi sinin adea aEREeG gauea npoelai j aEREeG npoelai edec.
Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’ enrenge’ gau’e’ napolei’ ja’ enrenge’ napolei’ de’ceng.(Cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari samapai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan).

Artinya: Ungkapan ini menggambarkan posisi orang pandai di masyarakatnya.
aj mumtEbE ad ap aiytu adea meag bEtuwn muatutuaiwi lilmu ap iaiy lilea pewrE ewrE.
Aja' mumatebek ada, apak iyatu adae’ mae’ga bettuwanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilae’ pawere’-were’.(Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris).

Artinya: Peringatan agar setiap orang selalu menjaga kata-kata yang diucapkan jangan sampai menyakiti hati orang lain.
aju mluruea mi riwl perw bol.
Aju malurue’mi riala parewa bola. (Hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah).

Artinya: Rumah sebagai perlambang dad pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sitat jujur yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.
duuw lalE tEPEdi ri yol aiynritu llEn psriea aEREeG llEn p golea.
Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarie’ enrennge’ lalenna. Paggollae’. (Dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah).

Artinya: Jalan yang ditempuh penyadap enau tidak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya tak menghiraukan kebersihan, lantaran itu banyak tak diketahui orang.

Lapa nakulle’ taue’ mabbaina narekko naulle’ni magguli-lingiwi dapurenge’ we’kka pitu. (Apabila se orang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali).

Artinya: Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok data, kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin sampai Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga harus memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.
ed nlbu aEsoea ri tEGn bitrea.
De’k nalabu essoe’ ri tenngana bitarae’. (Tak akan tenggelam matahari di tengah langit).

Artinya: Manusia tidak akan mati sebelum takdirnya sampai. Oleh karena itu, keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.
jgai wi blimu sisE mualitutuai rGEmu ewk sEpulo nsb rGEmu ritu bias mCji bli.
Jagaiwi balimmu siseng mualitutui rangemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali. (Jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan).

Artinya: Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, lawan menjadi bertambah dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.
lEbi ai cau caurEeG n pElorEeG.
Lebbik-i cau-caurennge’ napellorennge’. (Lebih baik sering kalah daripada pengecut).

Artinya: Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan seorang pengecut, sama sekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.
mlai bukurup ri cauea mplib ri mej ri pGRoea.
Malai bukurupa ricau’e, mappalimbang ri maje’ ripanganroe’. (Memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan).

Artinya: Dikalahkan karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tidak memiliki harga diri sama halnya mati.
naiy tau mlEPuea mGuru mnai tau sogiea.
Naiya tau malempuk-e’ manguruk manak-i tau sugi-e. (Orang jujur sewarisan dengan rang kaya).

Artinya: Orang jujur tidak sutit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.
mess pG tEmess api mess api tE mess botorE.
Masse’sa panga, temmase’sa api, masse’sa api temmas’esa botoreng. (Bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak barsisa penjudi).

Artinya: Sepintar-pintarnya pencuri, dia tidak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Akan tetapi sebesar-besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah dalam waktu singkat).
mau meag pbiesn nboGo po lopin etaw n lurE.
Mau mae’ga pabbise’na nabonngo ponglopinna te’a wa' nalureng. (Biar banyak pendayungnya, tetapi badoh juru mudinya takkan ku jadi penumpangnya).

Artinya: Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak ha , tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.
naiy acea riptopoki ejko agto aliri etyai mrEdu mpoloai.
Naiya accae ripatoppoki je’kko, aggato aliri, nare’kko te’yai maredduk, mapoloi.(Kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah, lalu tidak tercerabut ia akan patah).

Artinya: Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kiasan terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).
nerko mealoko tikE esauw aolokolo spai betln. nerko del spai meagn betl tau.
Narekko mae’lokko tikkeng se’uwa olokolok sappak-i bate’lana. Narekko sappakko dalle’k sappak-i mae’gana bate’la tau. (Kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia).

Artinya: Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.
 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :