Kamis, 06 Agustus 2015

Kampung Adat Ammatoa

0 komentar
Kampung Adat Ammatoa


Keindahan alam berupa kelestarian kawasan hutan merupakan ciri dari kawasan adat ini, serta budaya hidup masyarakatnya yang jauh dari pola hidup modern. Ciri masyarakat kajang yang ada di Desa Tana Toa yang tampak sehari-hari yaitu pakaian dengan warna serba hitam, sedangkan ciri bangunan rumahnya seragam menghadap ke Utara. Masyarakatnya dipimpin oleh seorang yang bergelar Amma Toa dengan masa kepemimpinan seumur hidup. Terletak di Kecamatan Kajang, sekitar 56 Km dari kota Bulukumba.
Kampung Adat Ammatoa

Jalan-jalan ke Sulawesi Selatan LAGI. Ga tau kenapa, jalan” ke tempat ini ga pernah bosen. Selalu ada objek menarik yang harus di kunjungin. Salah satunya Kampung Adat Ammatoa ini. Salah satu tempat wisata adat yang wajib banget dikunjungin kl maen ke Sulawesi Selatan. Tempatnya ada di Kajang, masih termasuk wilayah Bulukumba.

MENARIK. Tempat ini punya tradisi khusus,  yaitu yang masuk tempat ini harus menggunakan pakaian berwarna hitam. HARUS! Sebelum masuk ke tempat ini, kita harus mengisi buku tamu dulu di rumah Kepala Desa Tanah Towa. Disini kita bisa tau pengantar mengenai Kampung adat ini secara singkat dari kepala desanya atau para pemuda atau tokoh daerah tersebut yang suka berkumpul disini. sekilas pengantar yang saya tau tentang kampung adat ini adalah mereka memang menggunakan pakaian serba hitam, tidak menggunakan alas kaki, dan juga semua teknologi tidak masuk ke sana. WAW. Bisa dibayangkan kehidupan tanpa teknologi, buat saya, susaaaah!


Dengan menggunakan pakaian yang serba hitam dan tanpa menggunakan alas kaki, kami datang mengunjugi tempat ini. HIAAA. Kesan pertama, SEPI, HENING, dan NYAMAN.

Gak ada kendaraan, hanya ada kuda. Ga ada teknologi (lampu, listrik, tv apalagi hp) yang masuk ke kampung adat ini. Saya KAGUM. Memasuki tempat ini tanpa menggunakan alas kaki itu, wah banget, banyak banget batu”, tapi itung” treatment lah ya *katanya. :D semua rumah disini merupakan rumah panggung kayu. Disini ada 1 sumber air yang biasa digunakan untuk mencuci.


Disini ada pemimpin kampungnya, namanya Ammatoa. Belum beruntung, karena beliau sedang keluar menghadiri sebuah acara. Tapi ada sepupunya yang bersedia membagi cerita. Di dalam rumah Ammatoa dilarang mengambil foto. Ga tau kenapa tapi memang itu aturannya. Tapi selidik punya selidik, kata teman ada yg suka mencoba ambil foto diam” (termasuk mengambil foto Ammatoa), hasilnya itu pasti hilang Ammatoanya. Meskipun sudah jelas” tadi di foto *katannya.

Disetiap rumah di sini mempunyai susunan ruangan yg sama. Di paling depan pasti dapur dan kamar mandi (ini katanya supaya org yg bertamu tau kl pemiliknya sedang membuat sesuatu untuk tamunya) soalnya kan kl kita biasanya bertamu ke rumah orang, kita di tinggalkan ke belakang, kadang lama, kita ga tau itu yg punya rumah lagi ngapain, dan pengen cepet” pergi. Taunya itu yg punya rumah lagi bikini minuman. Itu sih contoh kejadiannya kenapa mereka mempunyai tata letak dapur di depan. Rumahnya tidak ada sekatnya, rumah luas berbentuk persegi. Kita bisa langsung melihat kamar tidur. Di lantai 2 tempat menumpuk hasil panen. Dan seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, ga ada teknologi.

Yang menarik buat saya adalah pemilihan Ammatoa, beliau bilang kalo Ammatoa itu adalah orang “terpilih”. Yang ada di benak saya, orang terpilih berarti melalui proses voting atau sejenisnya. Tetapi ternyata belum cukup samapi disitu, beliau bilang, meskipun sudah ada calonnya, dia harus melalui ujian dulu, ujiannya yang saya tangkap seperti mereka harus mandi dengan air, dan siapa yg masih bisa berdiri itu yg menjadi Ammatoa. Herannya adalah hanya benar-benar orang “terpilih” aja yang habis mandi dengan air itu yang masih bisa berdiri. Mungkin kata teman saya, calon yang lainnya itu bisa saja tiba” jadi tidak bisa berdiri/ lumpuh. Memang haya orang” yang berhati bersih aja yang bisa menjadi Ammatoa.

Sebelum keluar dari tempat ini atau sama dengan pintu masuknya, kita bisa melihat tempat pemakamam Ammatoa sebelumnya. Dilihat dari masa kepemimpinanya, rata-rata puluhan taun. Ada juga rumah tenun di tempat ini, digunakan untuk menenun kain khas penduduk Ammatoa ini, kata temen saya sih, harganya 500 ribu per kain.


Sedikit yang mengkhawatirkan adalah sebelum pulang, saya sempat melihat penduduk Ammatoa ini ada yg menggunakan alas kaki (mudah”an Cuma pendatang). Mungkin ini ciri dari mulai terjadi degradasi. Who knows, tapi semoga Ammatoa akan selalu menjadi tempat wisata yang tidak akan pernah luntur adatnya. Ini INDONESIA

Leave a Reply

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :