Kamis, 26 Februari 2015

AGH Muhammad Abduh Pabbajah

1 komentar

AGH Muhammad Abduh Pabbajah (1908 – 2009)
Salah seorang pendiri Darud Da’wah Wal Irsuad, sekretaris pertama Pengurus Besar DDI. Dan Pemimpin Pesantren DDI Al Furqan Parepare.

OLEH :
Ahmad Risal SM S.Pd.I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id

Ketika Gurutta Ambo Dalle berada dalam lingkungan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, maka Gurutta Pabbajah – lah tampil sebagai Pejabat Ketua Umum sementara DDI mengantikan Gurutta Ambo Dalle, umurnya ditaksir sudah menghampiri seratus tahun.

AGH Abduh Pabbajah dan AGH Abdurrachman Ambo Dalle bersama sejumlah ulama Sulsel lainnya mendirikan DDI di Soppeng Riaja tahun 1938. 

Di antara pendiri DDI, sisa AGH Abduh Pabbajah dan AGH Ali Alyafie yang masih hidup. Alyafie kini menetap di Jakarta.

Hidupnya didedikasikan untuk membangun negara dan agama Islam.  Sebagai seorang ulama terkemuka, ia dikenal sebagai figur  yang sangat ikhlas menuntun umat. Pendiriannya begitu kuat dalam menentang segala pergeseran akidah yang tejadi di tengah-tengah masyarakat. 

‘’Almarhum Anre Gurutta (AG) KH Muhammad Abduh Pabbaja memiliki kepedulian terhadap umat yang sangat besar sampai akhir hayatnya,’’ ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, KH AG Sanusi Baco LC, mengenang. 

Kiai Pabbaja memang dikenal sebagai ulama kharismatik yang sangat dihormati umat Islam di Pare-pare dan  Sidenreng Rappang,  Sulawesi Selatan.  Ia adalah salah seorang pendiri organisasi massa Islam Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI). Bahkan, kiai yang dikenal memiliki pendirian tegas itu pernah menjabat sebagai ketua umum DDI periode 1955-1962.

‘’Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan seluruh umat, beliau adalah ulama yang punya pendirian tegas. Tapi, di sisi lain beliau juga bersedia menerima pandangan orang lain jika diberikan penjelasan dan pengertian, yang membuat beliau paham,’’  tutur  Ketua Pengurus Besar DDI, Prof H Muiz Kabry seperti dikutip kantor berita Antara. 
  
Kiai Pabbaja lahir di Allakuang, Sidenreng Rappang,  Sulawesi Selatan, pada 20 Muharram 1336 H atau 26 Oktober 1918. Beliau lahir dari keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya bernama Pabbaja bin Ambo Padde, seorang kepala wilayah di desa kelahirannya. 

Ibunya bernama Hj Latifah binti Kalando, putri seorang imam atau penghulu syarak di desa itu. Kiai Pabbaja adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Pada saat kecil, kawan-kawannya memanggilnya Mamma. Setelah menjadi ulama terkemuka, umat Islam memanggilnya Kiai Pabbaja. 

Sebagai ulama Bugis Makassar, beliau dikenal dengan julukan Gurutta Pabbaja. Gurutta adalah gelar penghormatan untuk seorang ulama di wilayah Bugis Makassar. Mamma, begitu ia akrab dipanggil saat kecil, mulai mempelajari ilmu agama sejak kecil.

Ia belajar membaca Alquran dari ibunya. Menginjak usia enam tahun, Mamma menempuh studi di Sekolah Desa (Volksschool).  Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke madrasah Makarim Al-Akhlaq hingga tamat. Kemudian, Pabbaja menimba ilmu di madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah di Kabupaten Wajo yang dipimpin KH Muhammad As’ad.

Madrasah ini dikenal sebagai lembaga pencetak ulama-ulama besar. Betapa tidak. Hampir semua ulama terkemuka yang tersebar di Sulawesi Selatan adalah alumni madrasah yang dipimpin Kiai Muhammad As’ad itu. Ualam besar yang lahir dari Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah itu antara laih; KH Ambo Dalle, KH Yunus Maratan, KH Daud Ismail, KH Junaid Sulaiman, KH Abdullah Maratan, KH Ya’fie (ayah KH Ali Yafi’e).

Pada zaman itu, Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah,  secara khusus mendatangkan Syekh Ahmad Al-Hafifi, ulama dari Al-Azhar Kairo, Mesir dan Syekh Sulaiman As-Su’ud dari Makkah untuk mengajar para santri. Di madrasah itu pula Pabbaja mempelajari dan mengkaji berbagai cabang ilmu Islam selama tujuh tahun.

Di antara ilmu keislaman yang dipelajarinya, Kiai Pabbaja lebih menyukai Ilmu Tafsir. Tak heran jika beliau dikenal sebagai ulama ahli tafsir yang fasih dan lancar berbahasa Arab. ‘’Penafsiran Alquran hendaknya disesuaikan dengan ilmu pengetahun modern tanpa meninggalkan prinsip yang harus digunakan dalam menafsirkan Alquran,’’ ujar Kiai Pabbaja.

Dalam menerjemahkan Alquran, Kiai Pabbaja, sangat tak setuju bila kitab suci umat Islam itu diartikan secara sepotong-sepotong. Menurutnya, Alquran harus diartikan secara lengkap agar tak ada kekeliruan terhadap maknanya. Begitulah pendapatnya tentang penafsiran dan penerjemahan Alquran

Almarhum KH AG Muhammad Abduh Pabbaja diyakini oleh sebagian besar masyarakat sebagai ulama kharismatik generasi terakhir yang dimiliki Sulawesi Selatan setelah (alm) AGH Abdur Rahman Ambo Dalle, (alm) AGH Yunus Martan dan (alm) AGH Daud Ismail.

Menurut sejumlah keluarga Almarhum, ulama sepuh ini menghembuskan nafas terakhir di rumahnya di kompleks Perumahan Lapadde Mas, Parepare, Kamis, sekitar pukul 10.00 wita. kondisi kesehatan Imam Besar Masjid Agung Kota Parepare itu selama ini memang menurun. Sejak Februari 2009 lalu, almarhum tidak pernah lagi ke Masjid Agung.

" Kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan untuk beraktivitas di masjid seperti biasanya. Beliau lebih banyak beristirahat dan berbaring di rumah, namun masih bisa berbicara pelan dan tidak lancar lagi," kata putranya, Ahmad Pabbajah.

Lebih lnjut Ahmad mengatakan, KH AG Muhammad Abduh Pabbaja, yang akrab disapa oleh murid dan masyarakat Parepare, Gurutta Pabbajah, meninggal dunia pada usia 94 tahun menurut perhitungan Hijriyah, atau 90 tahun pada penanggalan Masehi. Beliau lahir di Allakuang, pada 20 Muharram 1336 H, atau 26 Oktober 1918.

Semasa hidupnya, Pabbaja pernah duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesi (DPR RI) mewakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di era tahun 80-an, Pabbaja juga kerap tampil sebagai juru kampanye partai berbasis Islam tersebut.

Di Masjid Agung Parepare, jenazah dilepas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulsel, KH Sanusi Baco LC. Turut hadir Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD) Kota Prepare H Muhadir Haddade SH, anggota DPRD Ir Kaharuddin Kadir MSi bersama sejumlah pejabat lainnya.

Ketua MUI KH AG Sanusi Baco LC mengatakan, Almarhum KH Muhammad Abduh Pabbajah adalah sosok ulama yang ikhlas menuntun umat, juga punya pendirian kuat dalam menentang segala pergeseran aqidah.

" Almarhum Anre Gurutta KH Muhammad Abduh Pabbaja ini memiliki kepeduliaan terhadap umat yang sangat besar sampai akhir hayatnya," kata Sanusi.

Sementara itu Ketua Pengurus Besar DDI, Prof Dr H Muiz Kabry mengatakan, Almarhum adalah ulama yang punya pendirian tegas dalam mengambil keputusan untuk kepentingan seluruh umat.

" Tapi disisi lain beliau juga bersedia menerima pandangan orang lain jika diberikan penjelasan dan pengertian yang membuat beliau paham," katanya.

Usai disalatkan di Masjid Agung Parepare. sekitar pukul 13.00 wita, Jenazah Almarhum Anre Gurutta KH Muhammd Abduh Pabbaja kemudian diantar ratusan mobil untuk dimakamkan di pekuburan Desa Allakuang, Kecamatan Maritengngae, Kabupaten Sidrap.

Rombongan pengantar jenazah tiba di Desa Allakuang, Sidrap, sekitar pukul 13.45 Wita dan jenazah pengasuh Pondok Pesantren Al Furqan ini kemudian di salatkan kembali di mesjid Almuttahid, Desa Allakuang, Sidrap dan kemudian jenazah dimakamkan tepat pukul 14.00 Wita.

AGH KH. Abdul Muin Yusuf

0 komentar

AGH . KH. Abdul Muin Yusuf

OLEH :
Ahmad Risal SM S.Pd.I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id

Abd. Muin Yusuf lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 21 Mei 1920. Ia melajar ngaji di madrasah Ainur Rafieq, madrasah yang didirikan Syaikh Ali Mathar pada tahun 1931. Di waktu pagi, ia juga sekolah umum. 

Pada tahun 1934, Mu’in melanjutkan pendidikan agamanya di Madrasah Arabiyah Islamiyah yang didirikan ulama besar Anregurutta As’ad. Saat belajar di madrasah inilah, ia bertemua dengan calon ulama yang masyhur di Sulawesi Selatan, di antaranya Anregurutta Ambo Dalle, Anregurutta Abduh Pabbaja, Anregurutta Daud Ismail, dan sebagainya.

Pada tahun 1971, Mu’in mulai aktif di Partai Nahdlatul Ulama. Dan tak lama kemudian, ia menjadi ketua tanfidziyah. Di bawah kepemimpinannya, NU berhasil tumbuh beserta badan otonominya, IPNU/IPPNU, GP Ansor, Fatayat NU. 

Pada Pemilu tahun 1971, Partai NU menempati posisi kedua dengan 18,67% suara, di bawah Golkar dengan perolehan 62,80% suara. Dan Muin menjadi anggota DPRD Sidrap dari Partai NU.

Ketika Partai NU fusi ke dalam PPP, Mu’in juga menjadi bagian darinya, tapi menempati tokoh sentral. Pada pemilu 1977, ia masuk Golkar dengan terpaksa, karena disebarkan fitnah bahwa dirinya anggota DI/TII. 

Mu’in memang pernah lari ke hutan ikut DI/TII, tapi saat itu karena tidak ada pilihan, masuk PKI atau ikut DI/TII. Mu’in masuk Golkar dengan berpegang dalil accemali-maliko naekiyaa aja numali. Artinya, ikuti arus, api jangan terbawa.

Mu’in terbilang ulama yang produktif menulis. Karyanya yang monumental adalah tafsir Al-Qur’an 30 juz, namanya Tafsere Akorang Ma’basa. Tafsir yang menggunakan bahasa Bugis dengan aksara Lontara ini berjumlah sebelas jilid. 

Tafsir Al-Qur’an tersebut mencakup munasabah ayat, asbabun nuzul, terjemah per ayat, dan penjelasan tiap-tiap ayat. Tafsir ini ditulis selama delapan tahun, dari 1988 hingga 1996. Selain tafsir ia juga menulis buku khotbah berjudul al-Khutbah al-Mimbariyah (1944) dan bukuh fiqih berjudul Fiqih Muqoron.

Karya besar lainnya adalah Pondok Pesantren Al-Urwatul Wusqa. Pesantren yang didirikan pada bulan April 1974 ini merupakan pesantren pertama di Sidrap, yang hari ini masih terus berkembang. Abd. Mu’in Yusuf pulang ke Rahmatullah tahun 2004.


Pernahkan anda membayangkan atau membaca tafsir Al-Quran dalam bahasa Bugis? Tafsir Al-Quran tersebut disusun oleh (Alm) KH. Abdul Muin Yusuf, (1985-2004) Pimpinan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa Benteng Sidrap. Tafsir Al-Quran tersebut dikerjakan selama sembilan tahun, dimulai pada 1985 hingga 1994.  

Dalam pengerjaan proyek tafsir Al-Quran berbahasa Bugis ini KH. Abdul Muin Yusuf dibantu oleh DR. Rahim Arsyad, KH. Farid Wadjidi, dan A. Syamsul Bahri Galigo, mereka adalah tokoh agama di Sulawesi Selatan. Namun jangan berani membuka tafsir tersebut jika tidak mampu membaca dengan huruf lontara(tulisan khas Bugis dan Makassar), karena tafsir tersebut ditulis dengan huruf lontara.

Setelah melalui proses penyusunan, tafsir tersebut kemudian direvisi oleh (Alm) KH. Ambo Dalle, Pimpinan Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Mangkoso Barru, dan KH. Daud Ismail, Pimpinan Pondok Pesantren Yasrif Soppeng. Adapun proses penulisannya dikerjakan oleh (Alm) KH. Hamzah Manguluang, salah seorang Pimpinan Pondok Pesantren As-Adiyah Sengkang.

Proses penulisan terhitung sangat sulit karena dilakukan dengan tulisan tangan. Menurut H. Imran LC., MHI., cucu KH. Abdul Muin Yusuf, tulisan tangan untuk menyusun tafsir tersebut dilakukan karena pada saat itu belum ada program komputer yang khusus untuk menulis tulisan lontara. “Tulisan tangan itu dikerjakan di atas kertas kalkir, dan hasilnya sangat rapi,” terang H. Imran LC., MHI. Namun saat ini telah ada program khusus untuk penulisan huruf lontara sehingga makin memudahkan jika mempelari huruf-huruf lontara tersebut.

Penulisan tafsir Al-Quran dalam bahasa Bugis ini juga terhitung sangat lengkap. Jika pada umumnya terjemahan Al-Quran yang kita baca hanya diartikan dari tiap kata dalam kalimat Al-Quran, maka dalam tafsir Al-Quran yang disusun oleh (Alm) KH. Abdul Muin Yusuf lengkap dengan penjelasan tiap ayatnya, sebab-sebab turunnya ayat tersebut, dan hadist yang berhubungan dengan ayat tersebut. Karena sangat detil memberikan penjelasan tiap ayatnya, maka tiap satu eksemplar hasil cetakan tafsir Al-Quran bahasa Bugis tersebut hanya mampu memuat tiga juz. Jadi untuk tiga puluh juz dalam Al-Quran, dicetak menjadi satu set. Satu set tafsir Al-Quran bahasa Bugis tersebut terdiri dari sebelas jilid.

Masyarakat juga ternyata sangat antusias menyambut tafsir Al-Quran bahasa Bugis tersebut. Terbukti dengan cetakan pertama sebanyak 2000 eksemplar kini telah habis. Pihak Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa mengaku akan mencetak kembali tafsir tersebut, namun menurut H. Imran LC., MHI., yang kini menjabat sebagai pimpinan mengaku masih terkendala masalah dana. “Dana yang kami butuhkan sangat besar untuk mencetak ulang tafsir tersebut. Tapi kami tetap akan mengusahakan karena banyaknya permintaan dari masyarakat,” jelas H. Imran LC., MHI.

Kini Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqaa yang dipimpin oleh H. Imran LC., MHI., membina kurang lebih 500 orang santri dari tingkat madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) dan madrasah aliyah (setingkat SMA).

Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu

0 komentar

PANDRITA TANA ULU 
Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu

OLEH :
Ahmad Risal SM S,Pd.I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id

Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu, dilahirkan di Desa Kulo, Kecamatan Pancarijang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada Agustus 1942 M. Orang tuanya bernama La Didu bin La Ote dan I Jampang binti La Tike’. Melihat silsilah keturunannya, beliau adalah cucu dari Petta Kali (Qadhi) Maroanging. Namun, kira-kira pada tahun 1946 M., kedua orang tuanya pindah dari Kulo menuju Lamoga yaitu suatu daerah padang luas yang sekarang dijadikan lahan persawahan di Tamansari Desa Tatae Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang. Ayahnya, La Didu yang juga dikenal dengan panggilan Puang Janggo’ (karena janggutnya panjang terurai) mendirikan sebuah masjid di Tamansari di atas tanahnya sendiri dengan harapan agar kelak anak cucunya termasuk orang-orang yang qalbunya selalu terpaut dengan masjid. Itulah Masjid Nurul Yaqin Tamansari.


Pendidikannya secara formal diawali di Sekolah Rakyat Tatae, di samping pada sore hari di Madrasah Darud Da’wah Wal Irsyad Al-Islamiyah (DDII) Pekkabata. Sekolah Menengah Pertama beliau selesaikan di Pekkabata lalu melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Pare-Pare.


Beliau pernah meminta izin kepada orang tuanya untuk melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Mesir, namun tidak diberi izin. Salah seorang gurunya, yakni Sayyid Abu Bakar, pernah berkata kepada orang tuanya, “Namo de’ na lao Massere’ mangaji ana’ta, Yahya, insya Allah mancaji pandrita to.” Artinya: “Walaupun putra anda, Yahya, tidak melanjutkan pengajiannya ke Mesir, insya Allah dia akan menjadi ulama.” Pernyataan ini menjadi doa bagi beliau.


Ketika masih muda, beliau mangaji tudang kepada Sayyid Abu Bakar, seorang ulama peranakan Arab yang berasal dari Singapura. Pada Sayyid Abu Bakar ini beliau mengkhatamkan Ihya’ ‘Ulumiddin, Alfiyah Ibnu Malik, Matan al-Jurumiyah dan beberapa buku yang terkait dengan penguasaan Bahasa Arab. Beliau juga massara’ baca kepada Sayyid Husain dan mempelajari tentang ilmu qira’ah dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Di samping aktif mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh ulama-ulama Sulawesi Selatan di berbagai masjid dan pengajian, antara lain: AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. Daud Ismail, AGH. Abdul Mu’in Yusuf, AGH. Abdush Shamad dan masih banyak lagi yang lain.

Kemudian seorang ulama dari Batu Sangkar, Sumatera Barat yaitu Buya Umar Yusuf datang ke Pekkabata (Pinrang). Kepada ulama inilah beliau mangaji tudang mempelajari kitab Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan muridnya, Naylul Authar karya asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul karya asy-Syaukani, Subulus Salam karya ash-Shan’ani, Riyadhush Shalihin karya al-Nawawi, al-Mu’inul Mubin karya Abdul Hamid Hakim, Tadribur Rawi karya as-Suyuthi, Madaarikus Salikin karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 

Dari sinilah beliau mengenal pemikiran para mujaddid di Indonesia, seperti Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syaikh Abdul Karim Amrullah, Syaikh Ahmad al-Syurkatiy, KH. Ahmad Dahlan, Ustadz A. Hassan, dan lain-lain. Akhirnya pengembaraan mencari ilmu membawanya pula ke Yogyakarta dan belajar kepada KH. AR. Fakhruddin dan lain-lain.

Beliau aktif berdakwah di Kalimantan Timur. Bahkan beliau pernah tinggal di Sandakan (Malaysia) atas permintaan keluarga dan murid-muridnya di sana. Setelah kembali dari Malaysia pada tahun 1997 M., beliau menetap di Melak (Kutai Barat, Kalimantan Timur) hingga sekarang dan diangkat sebagai penasehat Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kutai Barat.

Pengajian secara rutin disampaikan oleh beliau setiap hari di Masjid Nurul Islam Melak. Khusus antara shalat magrib dan isya’ adalah kajian tafsir al-Qur’an. Beliau juga setiap bulannya memberikan pengajian di Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Nunukan. 

Di antara murid-murid beliau yang telah aktif mengajar tafsir antara lain, Ustadz Abu Nurul Yaqin Santoso (Pulau Sebatik, Nunukan), Ustadz Mujaddid bin Salim (Kota Kinabalu, Malaysia), dan Ustadz H. M. Ali Sadike' (Melak, Kutai Barat).

Makkadai AGH. M. Yahya Didu, “Anak-anakku yamaneng... akkateni masse’ko ri akorangnge nennia ri sunna’na nabitta padatoha carana mappahang tau riolata salafuna ash-shalih ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Apa’ makkadai nabitta Muhammad tau nassurie pammase nennia asalamakeng, usalaingekko dua passaleng narekko makketenni masse’ko ri dua-duanna majeppu de’ na mu kepusa-pusa yenaritu akorangnge nennia sunna’ku.” Artinya: AGH. M. Yahya Didu berkata, “Anak-anakku sekalian... berpegang teguhlah kalian kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagaimana cara para salafuna ash-shalih ridhwanullah ‘alayhim ajma’in memahaminya, karena Nabi Muhammad saw. pernah bersabda aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, bila kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak ...


Rabu, 25 Februari 2015

Gurutta H. Lanre Said

0 komentar
Gurutta H. Lanre Said
Ulama Pejuang yang Visioner.

OLEH : AHMAD RISAL SM S.Pd,I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id


Tokoh  yang kita bahas kali ini adalah salah seorang ulama besar yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penulis, peneliti, bahkan pemerintah di Sulawesi Selatan. Banyak bukti jika Gurutta Lanre Said adalah sosok ulama yang tersisihkan.

Dari sekian publikasi ilmiah yang berkaitan dengan profil para ulama berpengaruh di Sulsel, tak satu pun yang pernah mencatut nama Gurutta Lanre Said, sebutlah misalnya buku “ Tokoh Ulama Pendidik di Sulawesi Selatan” yang mencantumkan lima belas tokoh utama yang memiliki peranan dalam pendidikan yang berbasis pondok pesantren, karya gabungan dari sekian penulis yang diterbitkan oleh MUI Sulsel tahun 2007.

Begitu juga disertasi Dr. Zainuddin Hamka, “Corak Pemikiran Gurutta H. Muhammad As’ad” yang diterbitkan oleh Kementrian Agama, isinya dengan jelas menulis seluruh ulama-ulama di Sulsel yang merupakan alumni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang di bawah didikan langsung Anregurutta H. Muhammad As’ad, namun tidak pula menulis nama Lanre Said sebagai salah seorang didikan Gurutta As’ad yang juga berprestasi.

Dan yang teranyar adalah karya Abd. Kadir Ahmad yang berjudul “Ulama Bugis”, dalam buku tersebut tertulis dengan jelas nama-nama ulama yang dikenal di Bone plus pondok-pondok pesantren yang ada di daerah itu. Buku terakhir yang  ‘konon’ adalah hasil penelitian yang akurat, anehnya di dalamnya tidak juga mencantumkan ‘Pondok Pesantren Darul Huffadz” yang didirikan oleh Gurutta H. Lanre Said yang berlokasi di dusun Tuju-tuju Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone, pondok yang kini menempati rangking pertama dalam prestasi dari beragam sisi, termasuk hafalan Alquran disertai penguasaan  bahasa asing (Arab dan Inggris).

Satu-satunya publikasi ilmiah yang membedah seluk-beluk perjalan dakwah, riwayat hidup, corak pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said adalah karya Ilham Kadir  “K.H. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi”.

Kelahiran dan Pendidikan

Gurutta H. Lanre Said dilahirkan pada tahun 1923 M, di sebuah kampung bernama Ulunipa, Manera Salomekko Kabupaten Bone, anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dengan Andi Marhana Petta Uga. Nama kecilnya adalah Andi Muhammad Said, namun setelah masuk belajar di Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) Sengkang namanya diganti oleh Anregurutta Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.

Beliau anak kedua dari tujuh bersaudara, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan didikan ayahnya, namun setelah berumur sepuluh tahun beliau dikirim untuk belajar di MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya yang terlebih dahulu telah tinggal dan mondok di sana dibawah asuhan langsung oleh KH.  Muhammad As’ad.

Beliau berasal dari keluarga yang taat dalam agama dan peduli terhadap pendidikan terutama ilmu-ilmu agama, ini terbukti dari tujuh bersaudara mereka semuanya pernah belajar dan mondok di MAI Sengkang. Dikatakan bahwa ibunya pernah mendapatkan Lailatul Qadar lalu berdoa agar dikaruniai tujuh keturunan  ulama yang kesemuanya hafal Alqur’an dan menjadi penghuni surga.

Lanre Said menghabiskan umurnya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah pencetak kader ulama nomor wahid di Indonesia bagian timur ini. Beliau menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di MAI, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah hingga kelas (halaqah) khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi. Pada tahap ini, pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus), setiap Syekh yang kesemuanya berasal dari Timur Tengah  seperti Syekh Ahmad al-Hafifi, ulama jebolan al-Azhar Cairo Mesir dan Syekh Sulaiman as-Su’ud, ulama asal Mekah Saudi Arabia. Membutuhkan pembahasan khusus siapa sebenarnya berperan penting mendatangkan para ulama yang berkaliber internasional dan memiliki keikhlasan yang tak ada duanya ini ke tanah Bugis.

Menginjak umur ke-22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan yang ada di MAI, selesai pada tahun 1945, dan lasngsung mengajar pada almamaternya selama empat tahun (1945-1949). Pada tahun 1949 beliau kembali ke kampung halamannya di Tuju-tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah. Selanjutnya menyeberang ke Jampea Selayar.

Bergabung dengan NII-DI/TII

Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Muzakkar  memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah yang dikuasainya kedalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawa pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar kedalam NII maka secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamerkan oleh Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas.

Untuk menopang perjuangan NII maka Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya.

Setelah dua tahun merintis sekolah  dan mengajar di Pulau Jampea, 1952-1953. Bertepatan tahun diproklamasikannya penggabungan pasukan Qahhar Muzakkar dan pasukannya yang dikuasainya ke dalam NII, Lanre Said turut bergabung bersama DI/TII dengan Qahhar Muzakkar, berkat ajakan kolega-koleganya yang kesemuanya alumni MAI Sengkang.

Semasa  bergabung dengan DI/TII, karirnya sangat cemerlang, bermula dengan menjadi Kepala Kepolisian DI/TII, kemudian dipindahkan menjadi Imam Tentara (setara dengan Panglima Tertinggi Angkatan bersenjata), dan yang terakhir adalah Ketua Mahkamah Agung, saat itulalah beliau tidak setuju karena merasa tanggungjawabnya sangat besar baik terhadap manusia ataupun di hadapan Allah kelak, di samping itu merasa belum pantas karena umurnya masih terlalu mudah untuk menyandang ketua MA jika dibandingkan dengan para rekannya. Namun karena pengangkatannya merupakan keputusan Musyawarah Dewan Tertinggi DI/TII dan penunjukannya langsung di bawah Qahhar Muzakkar maka Lanre Said tak kuasa menolak.

Dalam menjalankan tugasnya beliau berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain hal ini dapat dipahami karena selama bergabungnya pasukan Qahhar Muzakkar ke dalam DI/TII ini terus mendapat hambatan dari pihak pemerintah Republik Indonesia di bawah pasukan TNI.  Cara DI/TII menjalankan pemerintahannya juga tergolong sederhana yaitu dibagi menjadi pusat sebagai pemegang kendali utama dan distrik sebagai perpanjangan tangan dari pusat.

Saat bertugas di daerah Bone Selatan yang bermarkaz di Bulu’ Bilalang (Kec. Patimpeng), suatu peristiwa besar dialami Lanre Said, ia bermimpi menyalakan lampu di puncak Bulu’ Bilalang dengan menggunakan petromaks (bugis: lampu strongkeng) untuk menerangi kegelepan.

Lanre Said menakwilkan mimpinya sebagai sebuah perintah dari Allah swt agar mendirikan lembaga pendidikan yang dapat memancarkan cahaya iman dan ilmu sebagai sumber penerang bagi umat. Tanpa  ilmu, manusia akan menjadi gelap dan sesat tanpa arah tujuan sehingga sangat mudah disambar oleh setan dari spesies manusia dan jin.

Setelah peristiwa mimpi itu, Lanre Said terus merenung dan kontemplasi, lalu berfikir keras agar dapat mendirikan lembaga pendidikan yang berlandaskan dengan Alquran dan hadis sahih yang dapat menjadi suluh bagi kegelapan dan penerang dalam keremangan umat.

Mengejar Mimpi

Setelah Qahhar Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan Siliwangi pada tahun 1965 maka secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka pada tahun yang sama Lanre Said melakukan ekspedisi pertamanya, menuju Kalimantan Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan. Ia sempat mendirikan lembaga pendidikan namun masyarakat sekitar kurang peduli. Tahun 1970 Lanre Said kembali melanjutkan perjalannya ke Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores, lalu ke Surabaya di tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di sana.

Lanre Said  tetap mengoptimalkan waktunya untuk mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini ia idam-idamkannya, beliau pernah melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat tepatnya di daerah Cirebon, namun hasilnya tetap nihil.

Akhirnya pada  awal Tahun 1975 Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-tuju,  pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-tuju dengan Tujuh santri, sebuah lembaga pendidikan lahir dengan nama Majelisul Quraa’ wal Huffaz. Mimpi itu pun terwujud menjadi kenyataan. Pada tahun 1992, lembaga pendidikannya berubah nama meenjadi Pondok Pesantren Al-Qur’an Darul Huffadz atas bantuan Bupati Bone saat itu.

Hal yang tak kalah menarik dari waktu pendirian Darul Huffadz adalah sama persis dengan tanggal dimana Abdul Qahhar Muzakkar memproklamerkan bergabungnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) (7 Agustus 1953), yang telah diproklamerkan oleh Kartoswirjo pada tanggal dan bulan yang sama tahun 1949.

Ini menunjukkan bahwa cita-cita perjuangan DI/TII tak pernah lekang dari sosok Lanre Said, namun metode dan caranya telah berbeda, jika dulu menggunakan senjata, maka saat ini perjuangan yang tepat adalah melalui ilmu  dan pendidikan, yang dapat berjuang dengan lisan dan penanya. Bukankah pena para penulis sama mulianya dengan darah para syuhada.

Terbukti saat ini, Pondok Pesantren Darul Huffadz telah berjasa menelorkan bibit-bibit unggul generasi qurani yang bertebaran di mana-mana, berjuang sesuai seting ruang dan waktu, serta kemampuan masing-masing. Para santrinya berdatangan dari segala penjuru arah mata angin, dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri terutama negara Jiran. Selain mendirikan pesantren, Gurutta Lanre Said juga seorang penulis yang handal, sedikitnya ada sembilan buah buku yang beliau hasilkan. Bermula dari “Buku Taharah”, “Perintah Shalat”, “Urusan Jenazah”, “Shalat Nawafil”, hingga buku “Beberapa Masalah jilid I-V”. Dari buku-buku tersebut dapat kita telusuri corak pemikiran ulama kharismatik ini, kendati lulusan MAI Sengkang umumnya berafiliasi ke Mazhab Syafi’i namun Gurutta Lanre Said menempuh jalur berbeda, dengan terang-terang selama hidupnya tidak setuju dengan hanya perpedoman pada mazhab tertentu karena tidak memiliki dasar dari Alquran dan hadis. Oleh karena itulah beliau dikucilkan dan disisihkan bahkan banyak menganggap menyimpang. Ini pula yang membawanya berkali-kali harus berhadapan dengan pihak berwajib, setidaknya beberap kali Lanre Said ingin dibui, namun Allah tetap menjaganya, karena setiap persidangan berlangsung setiap itu pula para hakim dan jaksa penuntut mengalami peristiwa aneh yaitu mengalami  muntah darah.

Sejujurnya ulama besar yang kita bicarakan ini adalah adalah pelopor pembaharu ‘kemerdekaan dalam bermazhab’, di samping memiliki keteguhan dalam membela kebenaran, dengan karakter yang radikal dan militan.

Banyak yang menilai jika Gurutta Lanre Said memiliki keistimewaan tertentu (karamatul awliya’), seperti dapat memberi makan kepada segenap santrinya yang mancapai seribu orang lebih tiap hari dengan gratis, gedung-gedung sekolah dan asrama terbangun tanpa meminta sumbangan dari siapa pun. Mungkin karena kemurnian akidah dan keikhlasannya yang tiada tara sehingga rezeki selalu datang tak terduga.

Setelah seluruh obsesi dan cita-citanya terwujud, serta mimpinya menerangi dunia dengan ilmu yang bersumber dari Alquran dan hadis shahih menjadi nyata, akhirnya wali Allah ini, pergi untuk selamanya, beliau menghembuskan nafas terakhinya pada hari Selasa 24 Mei 2005.

Pemikiran dan Nasihat-nasihatnya

Pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said dalam pandangan putra sekaligus anak didik pertamanya, DR. KH. Muttaqin Said adalah perpaduan antara sufi-salafi. Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Darul Abrar Palattae-Bone ini, pemahaman ayahnya dari aliran sufi termasuk kental, dan ini bisa dilihat dari banyaknya ritual-ritual zikir khusus yang Gurutta amalkan selama hidupnya dan zikir-zikir tersebut semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Bahkan menurut pengakuan mantan dosen pascasarjana UMI ini, beliau sendiri pernah diberi zikir-zikir tersebut di atas.

Salah satu fungsi zikir dalam amalam para sufi adalah mengasah mata batin, pada tahap-tahap tertentu dapat menyentuh level kasyful mughayyabat atau dapat mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib terutama perkara-perkara yang akan terjadi. Gurutta H. Lanre Said termasuk dalam kategori ini, sebagai contoh kongkret, ketika beliau diberi mimpi berisi perintah dan petunjuk untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dapat memancarkan sinar kebenaran di bumi Indonesia. Mimpi yang kelak menjadi kenyataan, saat ini dari keturunan beliau saja setidaknya ada dua pondok pesantren yang menjadi sumber cahaya kebenaran di daerah Bone. Darul Huffadz Tuju-tuju Kajuara yang didirikan langsung oleh Gurutta dan Pondok Pesantren Darul Abrar yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Dr. KH. Muttaqin Said, putra dari Gurutta Lanre Said. Ini belum termasuk puluhan pondok-pondok pesantren yang didirikan atau dikelolah dari hasil didikan Lanre Said sendiri.

Namun perlu dicatat bahwa jenis tasawuf yang diamalkan Gurutta Lanre Said adalah tasawwuf akhlaqiy yaitu jenis ajaran tasawuf yang mengambil dari dimensi ahlak, lebih tepatnya ajaran tasawuf secara subtansial. Seperti mengedepankan keikhlasan, sabar dalam menghadapai segala bentuk cobaan, tekun beribadah, mengedepankan kesederhanaan, mendidik dengan sepenuh jiwa, mengedepankan kepentingan umum dibanding kepentingan diri dan keluarga, serta banyak lagi.

Gurutta Lanre Said bahkan sangat mencela praktik tasawuf dengan dengan amalan-amalan tarekat, karena menurutnya tidak memiliki tuntunan dari Alquran dan hadis shahih. Bahkan menurutnya sebagaimana yang terdapat dalam karya Ilham Kadir, salah satu faktor Lanre Said mencela para aliran tarekat kaerena setiap tarekat merasa dirinyalah yang paling benar, dan selain dari alirannya akan menyimpang dari kebenaran, pendapat ini menurut Lanre Said menjadikan umat berpecah-belah, untuk itulah beliau melarang keras para sanrtinya untuk menganut ajaran tarekat.

Dikemudian hari, setelah ditelusuri ternyata salah-satu sumber kekuatan pesantren yang didirkan Gurutta adalah, kemampuan sang pimpinan menghindari hal-hal yang tercela dalam pandangan agama dan dirinya, seperti menghindari berbohong walau itu cuma bercanda, mengedepankan kepentingan pesantren dari kepentingan diri sendiri. Bahkan secara pribadi, Lanre Said berpandangan jika makan tidak berjamaah adalah hal tercela baginya, untuk itulah sejak masih muda hingga akhir hayatnya tidak akan makan jika tidak berjamaah (kecuali dalam keadaan sakit), baginya makan bukan sekadar makan, karena dengan makan berjamaah seseorang dapat membuang egonya.

Pemahaman salafi dimaksud di sini adalah, mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang telah diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya, lalu turun kegenerasi berikutnya yang disebut para tabi’in (pengikut sahabat Nabi), dan tabi’ut tabi’in (para pengikut tabi’in). Mereka inilah yang disebut sebagai khaerul qurun sebaik-baik masa.

Para imam mazhab, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal adalah masuk dalam kategori sebagai para ulama salaf yang ajarannya menjadi muara pada para penganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah saat ini.

Untuk membaca dan menelaah pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said, bukanlah hal yang sulit karena beliau memiliki banyak karya. Baik itu berupa tulisan juga dapat kita temukan dalam asas-asas aturan dan ideologi pondok pesantren Darul Huffadz yang beliau dirikan. Asas-asas tersebut masyhur disebut dalam pondok sebagai Undang-undang Dasar Pondok Pesantren Darul Huffadz yang berisi 14 poin, delapan di antaranya menyebutkan posisi pemahaman keagamaan dan kenegaraannya.

Delapan poin yang dimaksud adalah, 1. Pondok Pesantren Darul Huffadz (PPDH) tidak terikat dengan salah satu partai politik atau organisasi-organisasi massa lainnya, dengan pengertian santri tidak dibenarkan mencampuri urusan politik hanya dibolehkan mengetahui serta mengamati alur perkembangan gerak politik. 2) PPDH tidak bersandar kepada salah satu madzhab dengan pengertian santri tidak dibenarkan berfanatik madzhab, namun diharuskan menpelajari dan mengetahui pendapat setip madzhab. 3) PPDH tidak akan bekerja sama dengan golongan ingkarussunnah atau golongan-golongan sesat lainnya seperti; Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Syi’ah dll. 4.) PPDH tidak sejalan dan searah tujuan dengan ahli bid’ah aqidah dan bid’ah ibadah. 5) PPDH tidak sejalan dan searah tujuan dengan ahli tarekat seperti; Tarekat waktu, khalwatiyah, idrisiyah, dll.6) PPDH berusaha mencari, mengetahui, dan mengamalkan tuntunan al Qur’an dan al Hadits shohih, yang telah dicontohkan atau digariskan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabat yang dilalui oleh Ahlussunnah dari segi Ibadah dan Aqidah. 7) PPDH tetap bernaung dibawah pemerintahan yang berasaskan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 selama dasar tersebut berada dalam kemurniannya, dan 8) Santri PPDH dibebaskan dari segala pungutan administrasi seperti: biaya pendaftaran, biaya bangunan, biaya bulanan, biaya semester, biaya makan dan lain-lain, semua biaya selama menjadi santri Insya Allah dapat diusahakan sepenuhnya oleh Pimpinan Pondok Pesantren.

Gurutta Lanre Said juga memiliki pesan-pesan khusus kepada para santrinya, dengan tujuan agar santrinya kelak jika telah keluar dari pondok dan berhadapan langsung dengan masyarakat dapat memiliki pegangan dan bekal yang cukup. Nasihat seorang guru kepada anak didiknya yang layak disemat dalam jiwa lalu diamalkan, berikut adalah pesan-pesannya: 1. Kalau kalian ingin mengerjakan suatu pekerjaan pertama-tama perbaiki niat. 2) Bila ada rencana hendak mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sebaiknya dirikan dahulu shalat istikharah atau shalat hajat dua rakaat, lalu berdo’a minta petunjuk semoga Allah memberikan kemudahan atas rencanaNya. 3) Sabar dan bertahanlah menghadapi segala tantangan dan cobaan, karena hal itu mutlak adanya. 4) Biasakan berkata benar dan jangan suka berdusta sekalipun bermain-main. 5) Bila kalian ingin memperluas dan memperdalam ilmu, lepaskanlah sifat kepanatikan, jangan fanatik guru, ulama tertentu, ataupun fanatik mazhab. 6) Pelajarilah Ilmu yang dua belas (12) karena itu dapat memudahkan untuk mengetahui isi tujuan al Qur’an dan Hadis serta kitab-kitab lainnya. 7) Pelajarilah sejarah hukum dan sejarah lainnya yang ada kaitannya dengan agama Islam. 8) Usahakan memiliki dan memperbanyak kitab-kitab, terutama kitab para Imam mazhab, dan 9) Tetaplah berusaha mengetahui dan mengmalkan tuntunan al Qur’an dan Hadis Shohih yang telah dicontohkan atau digariskan oleh Rasulullah dan para sahabat serta para  ahlussunnah dari segi aqidah dan ibadah.

Selama hidupnya, Gurutta Lanre Said telah menikah sebanyak empat kali. Namun salah satu istrinya yang paling berjasa dalam mewujudkan cita-citanya adalah Hj. Andi Siti Nurhasanah yang akrab dipanggil ‘Petta Cinnong’, wanita ini bukan saja sebagai ibu rumah tangga biasa, namun juga menjadi tangan kedua Gurutta Lanre Said. Beliau adalah sosok wanita yang memiliki ragam keunggulan, selain cantik dia juga jenius dan cerdas. Wanita yang memiliki anak semata wayang (Dr. KH. Muttaqin Said) dari perkawinannya dengan Gurutta ini adalah penghafal Alquran 30 juz, menguasai ragam jenis qira’ah, pintar tarannum, menguasai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu turunannya, cakap dalam ilmu waris (fara’id), bahkan mampu berbahasa Inggris dengan artikulasi yang baik.

Selain itu, wanita yang menjadi pendamping Gurutta H. Lanre Said selama puluhan tahun ini adalah sosok ibu yang penyabar, tutur katanya lembut, sangat dermawan, dan wanita pendidik yang agung. Keberhasilan seorang suami memang tak bisa lepas dari sosok seorang istri yang mendukung perjuangan sang suami.

Kolaborasi dari Gurutta H. Lanre Said bersama istrinya Hj. Andi Siti Nurhasanah adalah contoh pejuang agama yang sukses melahirkan generasi penerus yang berkualitas sehingga terbitlah cendekiawan muda sekaliber Dr. Syamsuddin Arif, pakar orientalisme dan aktivis Institute For The Study of Islamic Thought and Civilizations.(INSIST), Ustaz Bachtiar Nasir Lc., MM. Sekjen Majelis Ulama dan Intelektual Muda Indonesia (MIUMI), dan dan ribuan lainnya yang telah berjuang menegakkan agama Allah sesuai profesi dan kapasitasnya masing-masing. Pesantren ini benar-benar telah ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa. 

Gurutta Dirikan pesantren dari mimpi Pesantren Darul Huffadh

Pondok Pesantren Darul Huffadh genap berusia 37 tahun. Pondok pesantren ini didirikan oleh Gurutta H Lanre Said pada 7 Agustus 1975 di sebuah kampung bernama Tuju-Tuju, Kecamatan Kajuara, Bone, dengan tujuh santri pertama.

Lanre Said lahir pada 1923 di desa kecil bernama Ulunipa dengan nama Said. Orangtuanya bernama Andi Passennuni Petta Ngatta-Andi Marhana Petta Uga. Beliau tumbuh dan berkembang atas didikan ayahnya di kampung yang sekarang dikenal dengan nama Manera, Salomekko. Sebagaimana dikutip dari website resmi Darul Huffadh, Gurutta H Lanre Said merupakan salah satu murid yang diajar langsung oleh AGH Muhammad As’ad di Sengkang.

Oleh ayahnya, Lanre Said dikirim belajar ke Sengkang pada usia 10 tahun. Kurang lebih 16 tahun beliau mengisi waktunya untuk menghafal Alquran dan ilmu ilmu agama serta mengabdikan diri di pondok tersebut. Di Pondok inilah beliau membangun pondasi pengetahuan agama dengan bimbingan langsung AGH Muhammad As’ad.Setelah mengabdikan diri kurang lebih empat tahun, beliau ke Selayar untuk membuka sekolah dan mengajar selama dua tahun.

Tepatnya pada 1962, dia memulai ekspedisi dakwah ke luar Sulsel. Dia bersama sekitar 26 tenaga pengajar memulai perjalanan dakwah menuju Pulau Kalimantan. Beliau berdakwah selama dua tahun setengah namun tidak ada tanda-tanda yang ditemui di pulau tersebut untuk dijadikan lokasi pendirian pondok pesantren.Maka beliau melanjutkan perjalanan ke Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berdakwah sekaligus mencari tempat yang cocok untuk didirikan pondok pesantren.

Setengah tahun disana, juga tidak ada tanggapan positif masyarakat setempat. Bahkan,Lanre Said tidak diizinkan menyentuh masjid apalagi salat di dalamnya.Dia akhirnya meninggalkan tempat tersebut dan tidak mendapatkan tempat yang sesuai untuk dijadikan lokasi pendirian pondok. Kemudian beliau berangkat ke Surabaya, Cirebon, dan Jakarta. Selama 10 tahun keliling di Pulau Jawa, belum juga mendapatkan tempat yang cocok pendirian pesantren.

Cukuplah 13 tahun lamanya Lanre Said mengadakan perjalanan untuk mencari tempat sesuai tanda-tanda yang diperlihatkan kepada dirinya melalui mimpi. Ustaz Lanre Said mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui mimpi dengan melihat sebuah lampu petromaks yang bersinar di puncak Gunung Bilala. Hal ini dialaminya pada tahun 1950 dan ditakbirkan sebagai perintah mendirikan sebuah lembaga pesantren yang khas untuk penghapalan Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam.

Pada Juni 1975, Lanre Said kembali bermimpi agar segera mendirikan pondok pada awal bulan Agustus. Akhirnya, Darul Huffadh didirikan pada 7 Agustus 1975 di Tuju-Tuju, Kajuara, Bone. Karena situasi tidak memungkinkan, pondok dibentuk menjadi sebuah majelis biasa dengan nama Majlis Qurro’ Wal Huffadz.

Pondok ini berdiri tanpa donatur pembangunan dan ruang kondusif untuk tempat pengajian. Semua hal ini disebabkan pada saat itu pemerintah tidak mengizinkan akan didirikannya pondok ini, serta masyarakat yang tinggal di sekitar pondok enggan menginfakkan hartanya untuk pembangunan pondok ini. Awalnya, tidak ada bangunan mewah yang menyertai pendirian pesantren tersebut.

Hanya sebuah rumah panggung milik Lanre Said yang dijadikan tempat belajar sekaligus sebagai tempat tinggal para santri. 17 tahun kemudian, nama Darul Huffadh baru resmi digunakan setelah diresmikan sejak didirikan pada 1975. Proses pendirian pesantren ini memang melewati proses panjang karena tidak mendapat izin dari pemerintah saat itu.

Bahkan pondok ini menjadi objek penyerangan aparat pemerintah dengan terus mengintimidasi serta berusaha menghentikan pembangunan dan pengajaran yang dipimpin langsung oleh Lanre Said ini. Ustaz H Lanre Said wafat di usianya yang ke-82 tahun, pukul 13.30 Wita, 24 Mei 2005. Beliau dimakamkan di kawasan pondok. Almarhum menitipkan amanah yang tidak ringan.

Yaitu amanah membangun kembali Darul Huffadh menuju peradaban keemasannya Alquran dan Assunnah. Menurut Direktur Kuliyatul Mu’alimin Al- Islamiyyah (KMI) Darul Huffadh Ustaz Mustari Gaffar, semua santri di pondok ini diwajibkan menghafal Alquran dan ikut serta proses belajar di KMI. Saat ini,santri KMI putra-putri Darul Huffadh tercatat hingga 700 santri dengan tenaga pengajar sebanyak 85 ustad dan ustazah.

“Alhamdulillah, proses belajar dan mengajar di pesantren ini berjalan dengan baik. Santri-santri yang belajar juga berdatangan dari seluruh penjuru daerah,” kata Ustad Mustari yang juga alumni Darul Huffadh ini. Menurut dia, pondok pesantren putri memang baru dibuka pada 1997 untuk memperlebar sayap dakwah pesantren. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler mulai dijalankan sebagai bekal bagi santri untuk menantang masa yang kian hari makin berkembang.

Mulai dari kursus bahasa,seni dan komputer,yang kesemuanya itu dikelola oleh kalangan pondok.

“Saat ini Darul Huffadh sudah membina Madrasah Aliyah Darul Huffadh,Madrasah Tsanawiyah,dan Salafiah Darul Huffadh,dan semuanya terdaftar di Kementerian Agama,” katanya.



AGH Muhammad Yunus Martan

0 komentar

AGH Muhammad Yunus Martan (1906 – 1986)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)

AGH Muhammad Yunus Martan (1906 – 1986), adalah pimpinan ke-2 Pesantren As’adiyah, sebagai salah satu pesantren terbesar di Indonesia bagian timur. Didirikan oleh KH. Muhammad As’ad pada 1928. Pesantren As’adiyah adalah pelopor gerakan Islam tradisionalis moderat di Sulawesi Selatan.

Gurutta Yunus Martan juga merupakan pendiri Radio Siaran As’adiyah (RSA), dengan tujuan menyebarkan gagasan ke Islaman yang menghargai dinamika masyarakat Sulawesi Selatan yang sangat plural, RSA yang berada pada frekuensi 86.4 AM ini didirikan pada 1967.

ANRE Gurutta Haji (AGH) Muhammad Yunus Martan, dikenal sebagai ulama besar yang pertama kali mencetuskan dakwah lewat sarana radio. Ulama moderat yang dikenal dengan nama Gurutta Yunus tersebut mendirikan Radio Amatir (Radam) As'adiyah pada tahun 1968.

Radio Suara As'adiyah (RSA) yang berada pada frekuensi 86.4 AM, didirikan dengan tujuan menyebarkan gagasan keislaman yang menghargai dinamika masyarakat Sulawesi Selatan yang sangat plural. Gurutta Yunus Martan dinilai tokoh yang paling sukses memimpin Pesantren As'adiyah. Selain berkembangnya cabang-cabang Pesantren As'adiyah, pendirian radio adalah ide cemerlang yang belum terpikirkan oleh siapa pun kala itu. 

Karena itu, dulu orang menyebut Gurutta Yunus Martan sebagai kiai yang lahir sebelum zamannya. Artinya, ketika orang lain belum memikirkan radio sebagai media dakwah, beliau sudah memikirkannya. "Inspirasi Gurutta Yunus mendirikan radio amatir Suara As'adiyah agar dakwah-dakwahnya dapat didengar masyarakat luas. Sebelumnya Gurutta hanya berdakwah di mesjid maupun pesantren," kata Direktur Radio  Suara As'adiyah Sengkang Idris Panaungi.

Status radio amatir berubah menjadi PT Radio Suara As'adiyah (RSA) pada tahun 1973, setelah terjadi kebakaran hebat. Hingga kini, radio tersebut berkembang. Para ulama penerus AGH Yunus Martan menyampaikan dakwah melalui radio tersebut.

"Atas prakarsa Gurutta Yunus, eksistensi As'adiyah sebagai media dakwah tidak pernah hilang. Hingga saat ini masjid-masjid di Wajo menggunakan sarana suara As'adiyah untuk mengetahui waktu salat dan memutar pengajian dan dakwah yang dilakukan oleh para ulama di RSA," katanya.

AGH Muhammad Yunus Martan (1906-1986) adalah pimpinan ke-2 Pesantren As'adiyah, salah satu pesantren terbesar di Indonesia bagian timur. Pesantren itu didirikan KH Muhammad As'ad pada 1928. 

Pesantren As'adiyah adalah pelopor gerakan Islam tradisionalis moderat di Sulawesi Selatan. AGH Yunus Martan lahir di Desa Leppangeng, Kecamatan Belawa, Wajo, tahun 1906. Ayahnya bernama AG Martan, seorang ulama arif yang membuka pengajian untuk masyarakat Belawa. 

Yunus Martan mengikuti jejak ayahnya menjadi kiai. Beliau menunaikan ibadah haji sebanyak tujuh kali. Beliau juga mengenyam pendidikan di Mekkah. Selama berada di Mekkah, beliau senantiasa menjalin silaturahmi dengan ulama Jawa dan Melayu. Juga sering memberikan bimbingan haji pada jemaah haji.

Dari pernikahan dengan istri pertamanya, Hajah Kartini, AGH Yunus Martan dikaruniai tujuh anak. Salah satu anaknya, AGH Prof Rafi Yunus Martan, kemudian menjadi Ketua Pengurus Besar Pondok Pesantren As'adiyah Sengkang hingga saat ini. Setelah istri pertamanya meninggal, Yunus kemudian menikah dengan seorang perempuan asal Belawa, Hajah Husna pada tahun 1966. Dari istri keduanya ini, Yunus dikarunia lima orang putra-putri. Yunus meninggal pada tahun 1986 setelah dirawat di rumah sakit di Makassar.

Gurutta Yunus Martan dinilai tokoh yang paling sukses memimpin Pesantren As’adiyah. Selain berkembangnya cabang-cabang Pesantren

As’adiyah, pendirian radio adalah ide cemerlang yang belum terpikirkan oleh siapapun. Karena itu dulu orang menyebut Gurutta Yunus Martan sebagai kyai yang lahir sebelum zamannya. “Artinya ketika orang lain belum memikirkan radio sebagai media dakwah, beliau sudah memikirkannya.

Gurutta meninggal dunia pada tahun 1986.

AGH. SANUSI BACO, Lc

0 komentar

AGH. SANUSI BACO, Lc (Ketua MUI Sulsel)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)


Biodata:

  • Nama : AGH Sanusi Baco LC
  • Lahir : Maros 4 April 1937
  • Istri : Dra.. Hj. Aminah Sanusi
  • Anak : 8 orang
  • Pendidika :

           S1 Universitas Al-Azhar Kairo –Mesir
           BA Univesitas Muslim Indonesia
           Ketua Umum MUI sulsel
           Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan
           Ketua yayasan masjid raya Makassar. [KM02]

Mengurusi Ummat Itu Menyenangkan

Berbicara soal seorang tokoh kharismatik ulama di sulsel, maka semua akan merujuk kepada seorang tokoh ulama sulsel asal Kab. Maros yakni Anre Gurutta Haji (AGH) KH.Sanusi Baco Lc. 

Maklum saja lelaki yang lahir 4 April 1937 ini sudah puluhan tahun bergelut dengan dunia dakwah. Bahkan sejak memasuki bangku sekolah menengah pertama sudah mulai mondok pesantren di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. 

Dipesantren inilah, Sanusi Baco muda digembleng untuk menjadi seorang juru dakwah yang handal dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Ilmu agamanya yang diperoleh di pesantren semakin diperdalam dengan terus berguru pada kyai-kyai yang ada pada masa itu. Hingga akhirnya hijran ke Makassar untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Muslim Indonesia (UMI). 

Dikampus ini Sanusi Baco berhasil meraih gelar Sarjana Muda (BA). Di kampus UMI pula, sanusi mulai aktif berorganisasi dengan menjadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Yang kemudian di percaya pemerintah untuk melatih para mahasiswa untuk ikut berjuang membebaskan Irian barat. 

“Saat itu dipanggil ke Malino untuk melatih mahasiswa yang akan ikut berjuang dalam pembebasan Irian Barat, meski saya sendiri selalu berdoa agar tidak di ikutkan,” ujarnya sambil tertawa mengenang masa mudanya.
Dia mengakui bahawa berawal dari PMII dirinya sudah mulai tertarik berorganisasi, sehingga berbagai kegiatan organisai kepemudaan dan keagamaanpun diikutinya. Inilah yang juga menjadi modal utamannya untuk menjadi pemimpin dari para ulama dan kyai di sulsel. Bayangkan saja selama 15 tahun mengurusi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sulsel dan NU Sulsel. 

Bagi ayah 8 orang anak ini, mengurusi ummat merupakan kebahagian sendiri. Itulah yang menjadi alasan utamanya sehingga tetap bertahan untuk mengurusi organisasi keagamaan. 

“Mengurusi ummat itu menyenangkan, dan kekayaan seorang ulama itu bukalah uang, tapi adalalah ummat,” ujarnya saat ditanya alasannya terjun ke organisasi ke agamaan. 

Dia mengaku mengabdikan hidup bagi ummat merupakan impiannya sejak kecil, karenanya begitu jalan terbuka. Totalitas hidupnya diperuntukkan dalam mengurusi ummat. 

Tekadnya ini memang tidak disangsikan lagi, karena di usianya yang sudah masuk 73 tahun ini, dia masik aktif berceramah dan mengajar. Belajar dari Gusdur dan Haji Kalla. 

Memastikan diri untuk terjun totalitas mengurusi ummat dengan afliasi ke salah satu organisasi keagamaan bukanlah tanpa sebab. Meski sejak mahasiswa sudah bergabung dengan PMII,lelaki yang suka membaca ini mulai mengenai NU saat dalam perjalanan menuju ke Kairo Mesir pada tahun 1963. Saat itu kakek dari 7 cucu ini mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan studinya di Universita Al Azhar. 

Saat itulah dia mengenal cucu dari pendiri NU, yakni KH.Abdulrahman Wahid yang lebih dikenal dengan Gusdur. Saat dalam perjalanan dengan menggunakan kapal laut, pensiunan dosen di IAIN Makassar ini berkenalan dengan Gusdur yang juga akan melanjutkan studinya di Al-Alzhar. Perjalanan yang tempuh selama sebulan lebih itu, digunakan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Gusdur. Disinilah juga dia mengenal NU. 

“Gusdur itu moderat dan terbuka, suka membaca dan hampir waktunya dihabiskan untuk membaca,” ujarnya. 

Persahabatannya dengan Gusdur terus berlanjut, baik saat kuliah di Al-Azhar maupun setelah pulang dari Mesir. Di Al-Azhar bersama Gusdur, dirinya menjadi pengurus Mahasiswa yang berada di Al-Alzhar. Hanya saja kebersamaan mereka di Al-Azhar tidak berlangsung lama, karena Sanusi Baco harus kembali ke Indonesia, begitu dia berhasil meraih gelar sarjana. Keinginannya untuk melanjutkan ke S2 batal, karena dia minta kembali ke Indonesia setelah dirinya mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan melawan tentara Israel. 

Hari-hari Sanusi Baco pun disibukkan dengan menjadi dosen di IAIN Makassar serta menjadi pengajar di beberapa sekolah dan pondok pesantren. Namun kesibukan menjadi seorang pendidik tidak menghentikan langkahnya untuk berdakwah dan mengurusi ummat. 

Bersama Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla), dimana Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar dari Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla. 

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla. 

Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk pindah ke rumahnya sendiri di Jl. Pongtiku yang terletak di belakang Masjid Lailatul Qodri Makassar. Kemudian terakhir pindah ke Jl. Kelapa Tiga, sehingga dakwahnya semakin meluas. Beberapa tahun kemudian Sanusi Baco pun menjadi Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar. Tradisi pengkaderan ulama terus dilanjutkan. 

“Saat ini sudah ada 14 angkatan dari pendidikan ulama yang di lakukan oleh masjid raya,” ujarnya. 

Suami dari Dra. Hj. Aminah (alm) mengungkapkan bahwa pengkaderan ulama itu sangat penting karena saat ini orang-orang yang paham dan mengerti agama (ulama) sudah banyak yang wafat. Sehingga diperlukan adanya regenasi ulama untuk melanjutkan penyebaran ajaran-ajaran islam.

Sosok beliau tak asing lagi bagi para penikmat nasihat,karna memang sosok yang santun dan anggun membuat beliau menjabat sebagai ketua MUI cabang Sul-Sel,sekaligus menjadi pimpinan pondok pesantren Nahdlatul Ulum http://nahdlatululum.com/,pesantren inilah yang ikut ambil bagian dan memberikan pengaruh besar untuk menciptakan karakter bangsa dengan menghasilkan seseorang yang ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Pondok Pesantren adalah salah satu sarana untuk menciptakan karakter (character building ).Di sinilah seseorang akan memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan sosial,yang gunanya nanti membentuk karakter manusia.karena masalah utama sekarang adalah krisis moral yang berujung kepada perubahan karakter manusia.

Pendidikan karakter adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dengan ini bisa membedakan mahluk lain dengan makhluk yang lain. karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama yang menyeruluh dan semangat pantang menyerah. Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia dan Perang salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang tinggi terhadap iptek hingga saat ini.kultur dasar suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut.

Seorang pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafei, melalui buku yang berjudul; Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip sesuai tulisan aslinya), menyatakan;

Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat meniru-meniru perguruan di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah) Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.

Dan apabila kita cermati bersama bahwa pendidikan pesantren lah yang dapat berperan penting dalam menciptakan karakter seseorang,dimana dipesantren seseorang harus di ajarkan kedisplinan,yang aplikasinya dalam kehidupan sangat urgen,tak kalah pentingnya juga lembaga pesantren juga yang bisa menciptakan karakter yang mandiri,dan penuh tanggung jawab.karena pesantren yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang.

Pembentukan Karakter Melalui Pembelajaran Pesantren
  
Sosok beliau tak asing lagi bagi para penikmat nasihat,karna memang sosok yang santun dan anggun membuat beliau menjabat sebagai ketua MUI cabang Sul-Sel,sekaligus menjadi pimpinan pondok pesantren Nahdlatul Ulum http://nahdlatululum.com/,pesantren inilah yang ikut ambil bagian dan memberikan pengaruh besar untuk menciptakan karakter bangsa dengan menghasilkan seseorang yang ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Pondok Pesantren adalah salah satu sarana untuk menciptakan karakter (character building ).Di sinilah seseorang akan memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan sosial,yang gunanya nanti membentuk karakter manusia.karena masalah utama sekarang adalah krisis moral yang berujung kepada perubahan karakter manusia.

Pendidikan karakter adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dengan ini bisa membedakan mahluk lain dengan makhluk yang lain. karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama yang menyeruluh dan semangat pantang menyerah. Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia dan Perang salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang tinggi terhadap iptek hingga saat ini.kultur dasar suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut.


Seorang pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafei, melalui buku yang berjudul; Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip sesuai tulisan aslinya), menyatakan;
Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat meniru-meniru perguruan di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah) Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.

Dan apabila kita cermati bersama bahwa pendidikan pesantren lah yang dapat berperan penting dalam menciptakan karakter seseorang,dimana dipesantren seseorang harus di ajarkan kedisplinan,yang aplikasinya dalam kehidupan sangat urgen,tak kalah pentingnya juga lembaga pesantren juga yang bisa menciptakan karakter yang mandiri,dan penuh tanggung jawab.karena pesantren yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang.

Penulis sendiri merupakan alumni pesantren yang di pimpin oleh kiayi kondang AGH.SANUSI BACO LC ini merasakan betul perubahan karakter tersebut,dari karakter yang buruk menuju suatu karakter yang bisa membuat sebuah kebanggaan yang nyata.

Berharap MUI Lebih Baik Lagi

Sebagai panutan ummat dan kyai yang penuh kharismatik Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar ini berharap agar para ulama yang bernaung di bawah MUI bisa bersama-sama membesarkan organisasi ini. Dengan menjadikan MUI sebagai organisasi keagamaan yang memiliki kharimatik dan menjadi panutan, dimana fatwa-fatwanya benar-benar untuk kepentingan ummat,sehingga fatwa tersebut juga di dengar oleh ummat. 

Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan ini menilai bahwa hidup adalah perjuangan, penuh dengan probelematika sehingga harus dihadapi. Selain itu juga dalam menjalani hidup harus berani mengambil keputusan. 

“Inilah yang selalu saya tanamkan kepada anak-anak, agar mereka tidak takut dalam menghadapi hidup,” ujarnya. 

Karena prinsip ini pula, mantan Rektor Universitas Al-gazali ini, Tahun 2001 Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU. 

Kini pondok pesantren Nahdlatul Ulum, sudah berada di beberapa daerah seperti Jeneponto dan Takalar. Kemudian mendirikan kampus Universita Al-Gazali yang kini menjadi Universita Islam Indonesia Makassar. 

Kini di usianya yang semakin senja, tidak membuatnya berhenti untuk berdakwa. Dengan semangat untuk melayani ummat, lelaki yang menyukai lari pagi ini masih saja melayani panggilan ceramah hingga ke daerah-daerah. 

Ulama yang dikenal sebabgai sosok yang moderat dan toleran ini hanya berharap suatu saat nanti akan hadir ulama-ulama yang bisa membawa kebajikan bagi semua ummat manusia di muka bumi ini. Menurutnya sikap moderat dan toleran tidak boleh mengorbankan aqidah serta harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip agama.

Prof KH Ali Yafie

0 komentar

Prof KH Ali Yafie (1926 - Sekarang)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)



Ulama Ahli Fiqh

Prof KH Ali Yafie, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), seorang ulama ahli Fiqh (hukum Islam). Dia ulama yang berpenampilan lembut, ramah dan bijak. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Dakwah Al Irsyad, Pare-Pare, Sulsel, ini juga terbilang tegas dan konsisten dalam memegang hukum-hukum Islam.

Selain aktif di MUI, ulama kelahiran Desa Wani, Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926, ini juga menjabat sebagai Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Dewan Penasehat The Habibie Centre. 

Dia sudah menekuni dunia pendidikan sejak usia 23 tahun hingga hari tuanya. Diatas usia 70 tahun pun ulama yang hobi sepak bola, itu masih aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, antara lain di Universitas Asyafi’iyah, Institut Ilmu Al-Qur’an, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 

Ali berasal dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Sejak kecil dia sudah berkecimpung di dunia pesantren. Ayahnya Mohammad Yafie, seorang pendidik, sudah mendidiknya soal keagamaan dengan memasukkannya ke pesantren.

Sang ayah mendorongnya menuntut berbagai ilmu pengetahauan, terutama ilmu pengetahuan agama sebanyak-banyaknya dari para ulama, termasuk ulama besar Syekh Muhammad Firdaus, yang berasal dari Hijaz, Makkah, Saudi Arabia. 

Didikan orang tuanya untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tertanam terus sejak kecil hingga kemudian dieruskan dalam mendidik putra-putranya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad.

Mantan Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauiddin, Makassar (1966-1972), ini mendirikan pesantren itu tahun 1947. Sudah banyak mantan santrinya yang kini telah menjadi orang. Di antaranya Mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, Mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, dan salah satu Ketua MUI Umar Shihab. 

Dia seorang ulama Nahdlatul Ulama, yang produktif menulis buku. Dia telah menulis beberapa judul buku. Dia ulama yang berpola pikir modern dan tidak tradisional, seperti sebagian pemimpin pondok pesantren. 

Kiai Ali (panggilan akrabnya), selalu mengedepankan Ukuwah Islamiyah di kalangan umat Islam Indonesia, dan tidak membeda-bedakan dari golongan Islam mana. Kearifan ini membuatnya diterima oleh semua pihak, baik dari kalangan Muhammaddiyah maupun kalangan Nahdatul Ulama, dan lain-lain 

Salah satu tokoh pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini sudah menikah sejak usia 19 tahun. Saat itu, isterinya Hj Aisyah, masih berusia 16 tahun. Kendati menikah muda, mereka mengarungi bahtera mahligai rumah tangga dengan bahagia. Keluarga ini dikaruniai empat anak, yakni Saiful, Hilmy, Azmy dan Badru.

Selain pernah aktif sebagai Ketua Dewan Penasehat ICMI, Ketua Yayasan Pengurus Perguruan Tinggi As-Syafiyah (YAPTA), Ketua Umum Majelis Ulama (MUI), Ketua Dewan Penasehat MUI, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), Anggota Dewan Riset Nasional (BDN) dan Guru Besar UIA-IIQ-IAIN, dia juga pernah menjabat sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama Makasar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama.

Mantan Dekan Fakultas Usuluddin IAIN Ujung Pandang, ini juga menjadi Anggota DPR/MPR (1971--1987), Anggota Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional, Anggota Komite Ahli Perbankan Syariah Bank Indonesia dan Ketua Dewan Syariah Nasional MUI.

Atas berbagai pengabdiannya, Kiai Ali, telah menerima Tanda Jasa/Penghargaan Bintang Maha Putra dan Bintang Satya Lencana Pembangunan dari pemerintah RI.

AGH Daud Ismail

0 komentar

AGH Daud Ismail (1907 - 2006)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)

AGH Daud Ismail, sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907, buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Alquran sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.

Pada tahun 1942 istri pertamanya, yang selalu setia mendampingi perjuangan beliau berpulang kerahmatullah di Sengkang. Dari istri pertama beliau ini dikarunia tiga orang anak, yaitu Drs H. Ahmad Daud. Sayang umur anak pertamanya ini tidak berumur sepanjang beliau. Dalam umur menjelang 50 tahun, H Ahmad Daud berpulang kerahmatullah. Semasa hidupnya, Ahmad Daud sempat menjadi Dosen IKIP Ujung Pandang, kini Universitas Negeri Makassar. Anak kedua beliau bernama H Basri. Kepada H Basri Gurutta Daud Ismail menyerahkan pimpinan Pondok Pesantren YASRIB. Namun, lagi-lagi beliau harus kehilangan calon pengganti. H Basri ternyata mendahului sang ayah menghadap Khalik. Salah seorang lagi anak Gurutta dari istri pertamanya juga kini sudah meninggal dunia.

Istri kedua Gurutta Daud Ismail bernama Hj. Farida. Dari perkawinannya dengan Hj Farida dikaruniai tiga orang anak. H. Syamsul Huda, Nurul Inayah, sekarang Pegawai Pengadilan Agama di Watang soppeng, dan Rusydi, yang sekarang jadi staf Pegawai BNI di Jakarta.

Gurutta Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al quran pada orang tua kandungnya. “Nappaka lao mangngaji pasantren,” (Kemudian saya melanjutkan di pendidikan pesantren) di sejumlah ulama di Sengkang. Kebetulan waktu itu, menurut beliau sudah ada ulama-ulama besar. Antara tahun 1925 – 1929 beliau juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Gurutta Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula beliau belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.

Setelah Anre Gurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anre Gurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anre Gurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle. “Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anre Gurutta Muhammad As`ad - dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail.

Selama belajar di Sengkang beliau merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arodi, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh beliau karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang beliau dapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan beliau, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.

Salah satu kesan mendalam Gurutta Daud Ismail kepada Anre Gurutta As`ad, ketika beliau mengajarkan ilmu Arudhi. Arudhi ini beliau ajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan satu malam ilmu Arudhi. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.

Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anre Gurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudhi, gurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudhi termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren. Dan menurut Gurutta Daud Ismail, metode itu jugalah yang diterapkan Anre Gurutta Abdurrahman Ambo Dalle dalam menyusun beberapa kitab.

Setelah belajar langsung kepada Anre Gurutta As`ad, di Sengkang beliau kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada gurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah.

Setelah membentuk tim pengajar, Anre Gurutta As`ad, menurut penuturan Gurutta Daud Ismail, tidak lagi langsung berhadapan dengan satri baru. Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain.
Gurutta Daud Ismail, temasuk santri yang paling disayangi oleh Anre Gurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Beliau tidak diizinkan meninggalkan pesantren. Hingga memasuki masa sulit di mana beliau harus meninggalkan Sengkang.

Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuat beliau terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat yang beliau hadapi waktu itu adalah berpulangnya kerahmatullah istri beliau, yang pertama. Namun, sayang karena usianya sehingga beliau sendiri sudah lupa siapa nama istri pertamanya itu. Dengan berat hati gurutta As’ad terpaksa harus merelakan kepulangan beliau.

Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA).

Pada tahun 1944 datang panggilan Datu Pattojo untuk memberikan pendidikan di tempatnya. Sekitar tahun 1945 beliau diangkat menjadi Qadhi Soppeng menggantikan Sayyed Masse (selama 6 tahun) hingga terbentuknya Departemen Agama Kab. Bone pada tahun 1951 yang membawahi wilayah Soppeng. Lalu kemudian diangkat kepenghuluan yang bertempat di Watampone.

Karena wasiat dari gurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismai harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, pada tahun 1953 beliau kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI dan pada masa beliaulah MAI diintegrasikan menjadi Al-Madrasatul As’adiyah (MA) untuk mengenang jasa-jasa Anre Gurutta As’ad.

Namun. Gurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MA Sengkang, selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan beliau.

Di soppeng, K.H. Daud Ismail pernah mendirikan Madrasah Muallimin. Dan pada tahun 1967 diangkat kembali menjadi Qadhi dan membentuk Yayasan Perguruan Islam BOW. Beliau juga pernah membentuk organisasi Badan Amal. Dan hingga sekarang beliau tetap membina Ponpes Yasrib.

Adapun karya tangan yang pernah beliau tulis, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae dan Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis. Yang terakhir ini merupakan karya terbesar beliau.
Gurutta Haji Daud Ismail meninggal dunia, Senin malam (21/8) pukul 20:00 Wita di rumah sakit Hikmah Makassar dalam usia 99 tahun, setelah menjalani perawatan selama tiga pekan akibat usia lanjut.

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE

0 komentar

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)


Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. 

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2) 

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya. 



Latar Belakang Pendidikan 

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah? 

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996). 

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. 

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi). 

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. 

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru. 

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. 

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya. 

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI 

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu. 

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso. 

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang. 

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. 

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang. 

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah. 

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya. 

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha. 

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad. 

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis. 

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya. 

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi. 

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya. 

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI. 

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar. 


Hijrah Ke Parepare 

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said. 

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman. 

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar. 

Diculik Kahar Muzakkar 

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar. 

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya. 

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta. 

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu. 


Kiprahnya dalam Perjuangan 

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat. 

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana). 


Hijrah Ke Kaballangan Pinrang 

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan. 

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan. 

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal. 

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani. 

Kitab-kitab Karya Gurutta 

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt. 

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah. 

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu) 

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun. 


 Kepribadian Gurutta 

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta. 

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta. 

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam. 

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya. 


Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami 

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya. 

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu. 

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos. 


Detik-detik Terakhir 

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong. 

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

  1.  Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999 
  2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998 
  3.  Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986. 


Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain. 

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.

Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu. 

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik. 

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :