Kamis, 26 Februari 2015

Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu

0 komentar

PANDRITA TANA ULU 
Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu

OLEH :
Ahmad Risal SM S,Pd.I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id

Anre Gurutta Haji (AGH.) M. Yahya Didu, dilahirkan di Desa Kulo, Kecamatan Pancarijang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada Agustus 1942 M. Orang tuanya bernama La Didu bin La Ote dan I Jampang binti La Tike’. Melihat silsilah keturunannya, beliau adalah cucu dari Petta Kali (Qadhi) Maroanging. Namun, kira-kira pada tahun 1946 M., kedua orang tuanya pindah dari Kulo menuju Lamoga yaitu suatu daerah padang luas yang sekarang dijadikan lahan persawahan di Tamansari Desa Tatae Kecamatan Duampanua Kabupaten Pinrang. Ayahnya, La Didu yang juga dikenal dengan panggilan Puang Janggo’ (karena janggutnya panjang terurai) mendirikan sebuah masjid di Tamansari di atas tanahnya sendiri dengan harapan agar kelak anak cucunya termasuk orang-orang yang qalbunya selalu terpaut dengan masjid. Itulah Masjid Nurul Yaqin Tamansari.


Pendidikannya secara formal diawali di Sekolah Rakyat Tatae, di samping pada sore hari di Madrasah Darud Da’wah Wal Irsyad Al-Islamiyah (DDII) Pekkabata. Sekolah Menengah Pertama beliau selesaikan di Pekkabata lalu melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) Pare-Pare.


Beliau pernah meminta izin kepada orang tuanya untuk melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Mesir, namun tidak diberi izin. Salah seorang gurunya, yakni Sayyid Abu Bakar, pernah berkata kepada orang tuanya, “Namo de’ na lao Massere’ mangaji ana’ta, Yahya, insya Allah mancaji pandrita to.” Artinya: “Walaupun putra anda, Yahya, tidak melanjutkan pengajiannya ke Mesir, insya Allah dia akan menjadi ulama.” Pernyataan ini menjadi doa bagi beliau.


Ketika masih muda, beliau mangaji tudang kepada Sayyid Abu Bakar, seorang ulama peranakan Arab yang berasal dari Singapura. Pada Sayyid Abu Bakar ini beliau mengkhatamkan Ihya’ ‘Ulumiddin, Alfiyah Ibnu Malik, Matan al-Jurumiyah dan beberapa buku yang terkait dengan penguasaan Bahasa Arab. Beliau juga massara’ baca kepada Sayyid Husain dan mempelajari tentang ilmu qira’ah dan ilmu-ilmu al-Qur’an. Di samping aktif mengikuti kajian-kajian yang disampaikan oleh ulama-ulama Sulawesi Selatan di berbagai masjid dan pengajian, antara lain: AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Abduh Pabbajah, AGH. Daud Ismail, AGH. Abdul Mu’in Yusuf, AGH. Abdush Shamad dan masih banyak lagi yang lain.

Kemudian seorang ulama dari Batu Sangkar, Sumatera Barat yaitu Buya Umar Yusuf datang ke Pekkabata (Pinrang). Kepada ulama inilah beliau mangaji tudang mempelajari kitab Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Muhammad ‘Abduh dan muridnya, Naylul Authar karya asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul karya asy-Syaukani, Subulus Salam karya ash-Shan’ani, Riyadhush Shalihin karya al-Nawawi, al-Mu’inul Mubin karya Abdul Hamid Hakim, Tadribur Rawi karya as-Suyuthi, Madaarikus Salikin karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 

Dari sinilah beliau mengenal pemikiran para mujaddid di Indonesia, seperti Syaikh Muhammad Thahir Jalaluddin, Syaikh Abdul Karim Amrullah, Syaikh Ahmad al-Syurkatiy, KH. Ahmad Dahlan, Ustadz A. Hassan, dan lain-lain. Akhirnya pengembaraan mencari ilmu membawanya pula ke Yogyakarta dan belajar kepada KH. AR. Fakhruddin dan lain-lain.

Beliau aktif berdakwah di Kalimantan Timur. Bahkan beliau pernah tinggal di Sandakan (Malaysia) atas permintaan keluarga dan murid-muridnya di sana. Setelah kembali dari Malaysia pada tahun 1997 M., beliau menetap di Melak (Kutai Barat, Kalimantan Timur) hingga sekarang dan diangkat sebagai penasehat Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kutai Barat.

Pengajian secara rutin disampaikan oleh beliau setiap hari di Masjid Nurul Islam Melak. Khusus antara shalat magrib dan isya’ adalah kajian tafsir al-Qur’an. Beliau juga setiap bulannya memberikan pengajian di Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Nunukan. 

Di antara murid-murid beliau yang telah aktif mengajar tafsir antara lain, Ustadz Abu Nurul Yaqin Santoso (Pulau Sebatik, Nunukan), Ustadz Mujaddid bin Salim (Kota Kinabalu, Malaysia), dan Ustadz H. M. Ali Sadike' (Melak, Kutai Barat).

Makkadai AGH. M. Yahya Didu, “Anak-anakku yamaneng... akkateni masse’ko ri akorangnge nennia ri sunna’na nabitta padatoha carana mappahang tau riolata salafuna ash-shalih ridhwanullah ‘alaihim ajma’in. Apa’ makkadai nabitta Muhammad tau nassurie pammase nennia asalamakeng, usalaingekko dua passaleng narekko makketenni masse’ko ri dua-duanna majeppu de’ na mu kepusa-pusa yenaritu akorangnge nennia sunna’ku.” Artinya: AGH. M. Yahya Didu berkata, “Anak-anakku sekalian... berpegang teguhlah kalian kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagaimana cara para salafuna ash-shalih ridhwanullah ‘alayhim ajma’in memahaminya, karena Nabi Muhammad saw. pernah bersabda aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, bila kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak ...


Leave a Reply

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :