Tolotang
Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)
Di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten Sidrap) Sulawesi Selatan ada komunitas yang menganut Agama Lokal atau yang disebut sebagai agama To Lotang. Mereka sebenarnya sudah mengenal Tuhan terlebih dahulu dari agama pendatang yang mengaku-aku, bahwa merekalah yang memperkenalkan konsep Tuhan kepada Masyarakat Bugis secara umum, sementara Agama-agama import ini menyudutkan masyarakat yang ber-Agama To Lotang ini, sebagai Animisme dan Dinamisme.
Dewata SeuwaE / DewataE (Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai Gelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sacral tersebut jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan ucapan Lautang, yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).
Masyarakat To Lotang (To Lautang – dari arah Lautan) percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah Tenggelam-nya Atlantis,)
Dewata SeuwaE / DewataE (Tuhan Yang Maha Esa) mempunyai Gelar PatotoE (Yang Menentukan Takdir). Esensi kosa-kosa kata sacral tersebut jelas merupakan penekanan pada makna Yang Maha Segala-galanya.
To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (dalam bahasa Bugis yang berarti orang), dan kata Lotang (dalam bahasa Bugis Sidrap, dengan ucapan Lautang, yakni berarti Selatan – dari arah Lautan).
Masyarakat To Lotang (To Lautang – dari arah Lautan) percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah (Tenggelamnya Atlantis). Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua (Setelah Tenggelam-nya Atlantis,)
Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidenreng Rappang, sebuah komunitas bernama Towani Tolotang, bermukim sejak ratusan tahun lalu. Komunitas ini, terjaga secara turun-temurun dan terus berkembang hingga sekarang ini.
Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.
Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis. Hanya saja, mereka punya kepercayaanberbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.
Salah seorang tokoh Tolotang, Edy Slamet yang dalam komunitasnya dikenal dengan nama Wa Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung DPRD Sidrap mengatakan, cukup panjang kisah dan sejarah tentang keberadaan mereka di Sidrap. “Komunitas kami masuk di Sidrap berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai,” cerita Wa Eja.
Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. “Kami selalu membuat acara tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan
anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu,” klaim anggota DPRD Sidrap ini.
Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut aliran kepercayaan. Namun karena ada kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal itu, maka pada tahun 1996, pemerintah memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun.
“Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada aliran kepercayaan. Makanya dipanggillah tokoh komunitas kami untuk cari langkah menjadi agama.Ditawarilah tiga agama; Islam, Kristen, dan
Hindu. Komunitas kami harus memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu. Saat itu, kita resmi beragama bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas Tolotang tetap terjaga,” ujarnya.
“Sejak saat itu, jika ada acara Hindu di luar Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, kami selalu diundang khusus,” ungkap Wa Eja.
Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh Towani Tolotang yang ditemui di rumahnya di Amparita, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada tahun 1966. “Kita ini sudah sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966,” katanya.
Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip. “Hindu bisa memahami kami dan begitu juga sebaliknya,” katanya.
Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto menambahkan pernyataan Wa Eja. Menurutnya, Tolotang berasal dari Wajo. Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja tidak berkembang seperti sekarang. “Jadi kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah ada,” jelasnya.
Namun menurutnya, karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi Tolotang. “Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17,” beber Wa Sunarto.Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.
“Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,”
kata Wa Eja.
Rumah Tokoh tak Punya Kursi
SORE itu, Kamis, 7 Maret sekira pukul 16.50 Wita, delapan lelaki tua terlihat sibuk meraut bambu di kolong rumah salah satu warga. Bentuk rumah yang berarsitektur tempo dulu itu persis sama dengan dua rumah di sampingnya, namun jauh beda dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Bambu yang diraut kecil-kecil itu untuk balai-balai di tiga rumah yang berarsitektur tempo dulu tersebut.
Mata kedelapan laki-laki tua itu terlihat awas ketika penulis yang barusaja turun dari salah satu rumah di sampingnya mendekat. Sambil memainkan parang di atas potongan bambu yang
dipegang dan diraut, mata mereka tak henti memperhatikan gerak-gerik penulis.
Saat penulis menyampaikan maksud ingin mengabadikan mereka dengan foto, salah satu di antaranya sontak bertanya, “Buat apa?” Setelah penulis memberi penjelasan panjang lebar, mereka pun akhirnya mengerti juga dan mau difoto.
Ke delapan lelaki tua itu adalah warga komunitas Towani Tolotang. Sore itu, mereka sedang meraut bambu untuk anyaman balai di rumah tokoh adat mereka. Pemandangan seperti itu sudah hal lumrah di Kelurahan Amparita Lama Kecamatan Tellu Limpoe.
Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan bekerja bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal.
“Kalau ada bambu yang patah atau rusak, warga komunitas Towani Tolotang akan bekerja bersama memperbaikinya,” kata Wa Eja atau Edy Slamet, salah satu pemilik rumah adat di jejeran tiga rumah adat di tempat itu.Seperti penulis tulis di atas, Wa Eja merupakan salah satu tokoh Tolotang yang duduk di DPRD Kabupaten Sidrap. Wa itu sendiri adalah sebutan tokoh generasi penerus dari pimpinan adat.Kembali ke soal rumah. Rumah tokoh adat Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini. Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah tiang rumah yang segi delapan dan bundar.
“Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa. Semuanya disesuaikan kemampuan. Model ini sejak dulu menjadi adat kami,” cerita Wa Eja. Tokoh adat lainnya, Wa Sunarto Ngate yang ditemui penulis di Amparita juga membahas soal tiang rumah yang bentuknya bulat. Secara khusus, ia bahkan menyebut bahwa tiang bulat itu punya makna khusus.
“Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh. Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa,” katanya.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan satu kursi pun. Sebab memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga biasa komunitas ini, itu tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi.“Tidak ada kursi di rumah adat. Sebab memang hanya didiami tokoh. Para Uwa yang tinggal di situ. Rumah ini
menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-an rumah,” jelas Wa Sunarto.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara lain juga masih sangat kental dengan nuansa adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan berdasarkan hasil tudang sipulung tokoh adat. Biasanya para tokoh adat disaksikan warganya berembuk menentukan hari baik.
“Saat hari H juga kita punya acara adat, massempek (saling tendang,Red). Dulu, massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan yang muncul dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD,” tambah Wa Eja.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik minat peneliti dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sudah sering ke Amparita untuk secara khusus mendalami komunitas ini. “Mereka menanyakan budaya Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di sini,” kata Wa Eja yang mengaku sebagai tokoh lapisan kedua.
Dilarang Kawin di Luar Komunitas
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah mereka secara keseluruhan,– termasuk di sejumlah provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40 ribu orang. Namun sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab
urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).
“Prinsip yang kami pegang sejak awal adanya kepercayaan Tolotang adalah semboyan tetteng. Kami berpegang teguh, tidak berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun. Kami bukan tidak menerima perkembangan yang ada, namun prinsip tetap kami pegang teguh,” kata Wa Sunarto Ngate, di rumahnya.
Penulis sendiri bisa berbincang dengan Wa Sunarto setelah direkomendasikan Wa Eja alias Edy Slamet. Komunitas ini bertahan hingga kini, juga karena adanya doktrin dini dari nenek moyang kepada keturunan-keturanannya. Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku tokoh yang memberi
pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini yang akhirnya berubah haluan.
Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. “Banyak yang bergeser masuk Islam.Bahkan, banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan kami memang cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi,” kata Wa Eja.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban dengan masyarakat yang lainnya. “Kami selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata punya hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili dengan kami hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita,” bebernya.
Hal ini juga dibenarkan Wa Sunarto. Bahkan, secara khusus, dia menegaskan bahwa komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. “Tolotang itu etnis Bugis juga. Cuma, bedanya dalam hal kepercayaan saja. Bahasa kita bahasa Bugis juga,” tegasnya.
Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang, Wa Sunarto mengatakan, mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
“Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga kita yang keluar dari Tolotang. Tapi memang dipersilakan saja. Tidak dipermasalahkan. Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan kami. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup.Sebab, prinsip kami, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain. Kami tidak pernah seperti itu. Kita berkembang berdasarkan anak cucu,” jelasnya seraya menambahkan bahwa rata-rata warga Tolotang berprofesi petani.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang menganut Islam, Wa Sunarto juga membenarkannya. Namun katanya, di Towani Tolotang, itu tak diakui. “Di Amparita ada dua Tolotang. Ada yang menamakan diri Tolotang Benteng. Tapi kami tidak pernah mengenal dua. Kami tidak tahu siapa yang mengatasnamakan itu. Yang pasti, kamilah Tolotang asli yang punya paham Hindu. Dalam ritual, mereka tidak lagi
diikutkan. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi, silakan saja jalan, kita jangan saling ganggu,” tegasnya.
Wa Sunarto juga mengaku cukup salut dengan warga Amparita. Menurutnya, selama ini, mereka bisa hidup rukun dan damai. “Kita selalu terbuka. Saling bahu-membahu. Cuma tak dapat dipungkiri juga, dalam proses sejarah, membangun kebersamaan itu tak mudah. Ada bukti sejarah yang tidak tersembunyi bahwa pernah juga terjadi gesekan. Ada sekelompok orang yang memiliki keinginan keras memaksakan kehendak. Tapi, kita klaim itu hanyaoknum. Beberapa orang saja. Saya tidak generalkan,” katanya.
Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km.
Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis. Hanya saja, mereka punya kepercayaanberbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.
Salah seorang tokoh Tolotang, Edy Slamet yang dalam komunitasnya dikenal dengan nama Wa Eja, kepada penulis 7 Maret 2008 di gedung DPRD Sidrap mengatakan, cukup panjang kisah dan sejarah tentang keberadaan mereka di Sidrap. “Komunitas kami masuk di Sidrap berasal dari Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai,” cerita Wa Eja.
Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. “Kami selalu membuat acara tahunan di Perinyameng. Sebab orangtua yang dikuburkan di situ, memang berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan
anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu,” klaim anggota DPRD Sidrap ini.
Awalnya sebenarnya, komunitas ini penganut aliran kepercayaan. Namun karena ada kebijakan pemerintah yang tidak mengakui hal itu, maka pada tahun 1996, pemerintah memberi tiga pilihan ke warga Tolotang. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun.
“Pemerintah saat itu tidak mengakui kalau ada aliran kepercayaan. Makanya dipanggillah tokoh komunitas kami untuk cari langkah menjadi agama.Ditawarilah tiga agama; Islam, Kristen, dan
Hindu. Komunitas kami harus memilih salah satunya, maka dipilihlah Hindu. Saat itu, kita resmi beragama bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas Tolotang tetap terjaga,” ujarnya.
“Sejak saat itu, jika ada acara Hindu di luar Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, kami selalu diundang khusus,” ungkap Wa Eja.
Wa Sunarto Ngate, salah seorang tokoh Towani Tolotang yang ditemui di rumahnya di Amparita, juga mengatakan hal senada. Menurutnya, Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada tahun 1966. “Kita ini sudah sebagai mashab Hinduisme sejak 1966. Itu berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966,” katanya.
Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut Wa Sunarto, alasannya sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip. “Hindu bisa memahami kami dan begitu juga sebaliknya,” katanya.
Terkait sejarah komunitas ini, Wa Sunarto menambahkan pernyataan Wa Eja. Menurutnya, Tolotang berasal dari Wajo. Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja tidak berkembang seperti sekarang. “Jadi kalau dikatakan Tolotang ini baru, itu pendapat keliru. Sebab menurut kami jauh sebelum abad ke-16 sudah ada,” jelasnya.
Namun menurutnya, karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi Tolotang. “Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17,” beber Wa Sunarto.Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.
“Bukan di Amparita saja. KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan,”
kata Wa Eja.
Rumah Tokoh tak Punya Kursi
SORE itu, Kamis, 7 Maret sekira pukul 16.50 Wita, delapan lelaki tua terlihat sibuk meraut bambu di kolong rumah salah satu warga. Bentuk rumah yang berarsitektur tempo dulu itu persis sama dengan dua rumah di sampingnya, namun jauh beda dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Bambu yang diraut kecil-kecil itu untuk balai-balai di tiga rumah yang berarsitektur tempo dulu tersebut.
Mata kedelapan laki-laki tua itu terlihat awas ketika penulis yang barusaja turun dari salah satu rumah di sampingnya mendekat. Sambil memainkan parang di atas potongan bambu yang
dipegang dan diraut, mata mereka tak henti memperhatikan gerak-gerik penulis.
Saat penulis menyampaikan maksud ingin mengabadikan mereka dengan foto, salah satu di antaranya sontak bertanya, “Buat apa?” Setelah penulis memberi penjelasan panjang lebar, mereka pun akhirnya mengerti juga dan mau difoto.
Ke delapan lelaki tua itu adalah warga komunitas Towani Tolotang. Sore itu, mereka sedang meraut bambu untuk anyaman balai di rumah tokoh adat mereka. Pemandangan seperti itu sudah hal lumrah di Kelurahan Amparita Lama Kecamatan Tellu Limpoe.
Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan bekerja bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal.
“Kalau ada bambu yang patah atau rusak, warga komunitas Towani Tolotang akan bekerja bersama memperbaikinya,” kata Wa Eja atau Edy Slamet, salah satu pemilik rumah adat di jejeran tiga rumah adat di tempat itu.Seperti penulis tulis di atas, Wa Eja merupakan salah satu tokoh Tolotang yang duduk di DPRD Kabupaten Sidrap. Wa itu sendiri adalah sebutan tokoh generasi penerus dari pimpinan adat.Kembali ke soal rumah. Rumah tokoh adat Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini. Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah tiang rumah yang segi delapan dan bundar.
“Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa. Semuanya disesuaikan kemampuan. Model ini sejak dulu menjadi adat kami,” cerita Wa Eja. Tokoh adat lainnya, Wa Sunarto Ngate yang ditemui penulis di Amparita juga membahas soal tiang rumah yang bentuknya bulat. Secara khusus, ia bahkan menyebut bahwa tiang bulat itu punya makna khusus.
“Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh. Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa,” katanya.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan satu kursi pun. Sebab memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga biasa komunitas ini, itu tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi.“Tidak ada kursi di rumah adat. Sebab memang hanya didiami tokoh. Para Uwa yang tinggal di situ. Rumah ini
menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-an rumah,” jelas Wa Sunarto.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara lain juga masih sangat kental dengan nuansa adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan berdasarkan hasil tudang sipulung tokoh adat. Biasanya para tokoh adat disaksikan warganya berembuk menentukan hari baik.
“Saat hari H juga kita punya acara adat, massempek (saling tendang,Red). Dulu, massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan yang muncul dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD,” tambah Wa Eja.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik minat peneliti dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sudah sering ke Amparita untuk secara khusus mendalami komunitas ini. “Mereka menanyakan budaya Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di sini,” kata Wa Eja yang mengaku sebagai tokoh lapisan kedua.
Dilarang Kawin di Luar Komunitas
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah mereka secara keseluruhan,– termasuk di sejumlah provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40 ribu orang. Namun sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab
urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).
“Prinsip yang kami pegang sejak awal adanya kepercayaan Tolotang adalah semboyan tetteng. Kami berpegang teguh, tidak berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun. Kami bukan tidak menerima perkembangan yang ada, namun prinsip tetap kami pegang teguh,” kata Wa Sunarto Ngate, di rumahnya.
Penulis sendiri bisa berbincang dengan Wa Sunarto setelah direkomendasikan Wa Eja alias Edy Slamet. Komunitas ini bertahan hingga kini, juga karena adanya doktrin dini dari nenek moyang kepada keturunan-keturanannya. Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku tokoh yang memberi
pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini yang akhirnya berubah haluan.
Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. “Banyak yang bergeser masuk Islam.Bahkan, banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan kami memang cukup ketat soal itu. Semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi,” kata Wa Eja.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban dengan masyarakat yang lainnya. “Kami selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata punya hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili dengan kami hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita,” bebernya.
Hal ini juga dibenarkan Wa Sunarto. Bahkan, secara khusus, dia menegaskan bahwa komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. “Tolotang itu etnis Bugis juga. Cuma, bedanya dalam hal kepercayaan saja. Bahasa kita bahasa Bugis juga,” tegasnya.
Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang, Wa Sunarto mengatakan, mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
“Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga kita yang keluar dari Tolotang. Tapi memang dipersilakan saja. Tidak dipermasalahkan. Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan kami. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup.Sebab, prinsip kami, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain. Kami tidak pernah seperti itu. Kita berkembang berdasarkan anak cucu,” jelasnya seraya menambahkan bahwa rata-rata warga Tolotang berprofesi petani.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang menganut Islam, Wa Sunarto juga membenarkannya. Namun katanya, di Towani Tolotang, itu tak diakui. “Di Amparita ada dua Tolotang. Ada yang menamakan diri Tolotang Benteng. Tapi kami tidak pernah mengenal dua. Kami tidak tahu siapa yang mengatasnamakan itu. Yang pasti, kamilah Tolotang asli yang punya paham Hindu. Dalam ritual, mereka tidak lagi
diikutkan. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi, silakan saja jalan, kita jangan saling ganggu,” tegasnya.
Wa Sunarto juga mengaku cukup salut dengan warga Amparita. Menurutnya, selama ini, mereka bisa hidup rukun dan damai. “Kita selalu terbuka. Saling bahu-membahu. Cuma tak dapat dipungkiri juga, dalam proses sejarah, membangun kebersamaan itu tak mudah. Ada bukti sejarah yang tidak tersembunyi bahwa pernah juga terjadi gesekan. Ada sekelompok orang yang memiliki keinginan keras memaksakan kehendak. Tapi, kita klaim itu hanyaoknum. Beberapa orang saja. Saya tidak generalkan,” katanya.
Menurut Versi Buku I Lagaligo ceritanya antara lain:
Suatu ketika, PatotoE sedang tertidur lelap, sementara tiga pengikutnya (Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung) yang dipercayakan untuk menjaganya, justru mengambil untuk sekejap pergi mengembara ke dunia lain.
Ketika ketiganya sampai di bumi, mereka melihat ada dunia yang masih kosong, dan ketika kembali dari pengembaraannya, ketiga pengikut tersebut menceritakan kepada PatotoE, mengenai pengalaman mereka, bahwa ternyata ada dunia yang masih kosong.
Lalu ketiganya mengusulkan, agar PatotoE dapat mengutus seseorang untuk tinggal di dunia yang masih kosong tersebut. Ternyata PatotoE sepakat dengan ketiga pengikutnya tersebut, lalu PatotoE berunding dengan istrinya Datu Palinge, serta seluruh pimpinan di negeri Kayangan.
Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru (yang kini disebut sebagai Tomanurung.) turun ke bumi terlebih dahulu.
Setelah beberapa saat tinggal di bumi, Batara Guru merasa kesepian, Ia memohon agar kiranya dapat diturunkan satu manusia lagi ke bumi, untuk menemaninya.
Oleh karenanya diturunkanlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang, yang kemudian dinikahi oleh Batara Guru. Hasil dari pernikahan tersebut, melahirkan seorang putra, bernama Batara Lettu.
Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai.
Dari hasil pernikahannya melahirkan dua anak kembar, Putra dan Putri. Putranya diberi nama Sawerigading, sedangkan Putri-nya diberi nama I Tenriabeng.Sawerigading kemudian menikah dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina, dan melahirkan seorang anak, yang bernama Lagaligo.
Pada masa Sawerigading, terciptalah negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo. Penduduk sangat menghormati perintahnya. Tetapi, setelah Sawerigading meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pergolakan dimana-mana, hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata SeuwaE lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah kekosongan dunia (Tenggelamnya Atlantis) untuk kedua kalinya..
Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.
Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi.
Suatu ketika, PatotoE sedang tertidur lelap, sementara tiga pengikutnya (Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung) yang dipercayakan untuk menjaganya, justru mengambil untuk sekejap pergi mengembara ke dunia lain.
Ketika ketiganya sampai di bumi, mereka melihat ada dunia yang masih kosong, dan ketika kembali dari pengembaraannya, ketiga pengikut tersebut menceritakan kepada PatotoE, mengenai pengalaman mereka, bahwa ternyata ada dunia yang masih kosong.
Lalu ketiganya mengusulkan, agar PatotoE dapat mengutus seseorang untuk tinggal di dunia yang masih kosong tersebut. Ternyata PatotoE sepakat dengan ketiga pengikutnya tersebut, lalu PatotoE berunding dengan istrinya Datu Palinge, serta seluruh pimpinan di negeri Kayangan.
Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru (yang kini disebut sebagai Tomanurung.) turun ke bumi terlebih dahulu.
Setelah beberapa saat tinggal di bumi, Batara Guru merasa kesepian, Ia memohon agar kiranya dapat diturunkan satu manusia lagi ke bumi, untuk menemaninya.
Oleh karenanya diturunkanlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang, yang kemudian dinikahi oleh Batara Guru. Hasil dari pernikahan tersebut, melahirkan seorang putra, bernama Batara Lettu.
Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dinikahkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai.
Dari hasil pernikahannya melahirkan dua anak kembar, Putra dan Putri. Putranya diberi nama Sawerigading, sedangkan Putri-nya diberi nama I Tenriabeng.Sawerigading kemudian menikah dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina, dan melahirkan seorang anak, yang bernama Lagaligo.
Pada masa Sawerigading, terciptalah negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo. Penduduk sangat menghormati perintahnya. Tetapi, setelah Sawerigading meninggal, masyarakat menjadi kacau. Terjadi pergolakan dimana-mana, hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata SeuwaE lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah kekosongan dunia (Tenggelamnya Atlantis) untuk kedua kalinya..
Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.
Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) itu diturunkan sebagai Wahyu pada La Panaungi.
Wahyu yang diturunkan kepada La Panaungi adalah:
Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakan. Akulah DewataE,
yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar
manusia selamat di dunia dan hari kemudian. *Akulah Tuhanmu yang
menciptakan dunia dan isinya. Tetapi sebelum kuberikan wahyu ini
kepadamu, bersihkanlah dirimu terlebih dahulu, dan setelah engkau
menerima wahyu ini, engkau wajib untuk menyebarkannya pada anak cucumu.
Suara itu turun tiga kali berturut-turut, untuk membuktikan keyakinan
bahwa itu adalah benar-benar wahyu yang turun dari Kayangan.
Selanjutnya DewataE membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis, dan ke
langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat,
yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti
perintah DewataE.
Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada
penduduk etempat, hingga banyak pengikutnya. Dalam ajaran Tolotang,
pengikutnya diwajibkan untuk mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban
yang harus dijalankan oleh pengikutnya.
Salah satu kewajiban tersebut adalah, Mappianre Inanre, yakni
persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritual, dengan cara
menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke Rumah Uwa
dan Uwatta.
Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritual pada
waktu tertentu, guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung,
berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritual di kuburan I Pabbere
di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan.
Tolotang juga mengenal Empat Unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin.
Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat
jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi
empat macam).
Nasi Putih diibaratkan Air, Nasi Merah diibaratkan Api, Nasi Kuning
diibaratkan Angin, dan Nasi Hitam diibaratkan Tanah. Oleh karenanya,
setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari
Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan
ajaran yang ia terima dari DewataE, dan meminta agar pengikutnya
berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La
Panaungi banyak diziarahi pengikutnya, tidak hanya pada ritual tahunan
saja.
Penganut agama Tolotang ini sempat berkembang, tetapi pada abad
ke-16, ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi
Selatan, jumlah penganut Tolotang cenderung menurun karena hampir semua
kerajaan bugis masuk Islam.
Saat inilah terjadi untuk pertama kalinya Islamisasi di Tolotang.
Tetapi berkat ketaatan masyarakatnya terhadap Agama yang dianut oleh
Leluhur mereka sebelumnya, maka mereka pun, masih dapat bertahan hingga
kini.
Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La
Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya, dan
menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pada tahun 1610 di Wajo kerajaan
Batu pun masuk Islam sehingga semua rakyatnya diwajibkan masuk Islam.
Saat ini terjadi Islamisasi yang kedua kalinya di wilayah tersebut, yang menimpa Masyarakat To Lotang..
Orang-orang Wani (Berani) semua menolak masuk Islam, sehingga mereka
diusir dari tempat tinggalnya, dan mengungsi ke tempat lain yang mau
menerima mereka.
Dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya,
Wajo, dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di
Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita, yang kemudian
mengadakan Perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi.
Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah
dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :1. Adat Sidenreng
tetap utuh serta harus dipatuhi2. Keputusan harus dipelihara3. Janji
harus ditepati4. Suatu keputusan yang telah berlaku harus dilestarikan5.
Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Kalau pada tahun 1966 kita mengenal Hinduisasi, pada saat tersebut di atas terjadi Islamisasi
Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang,
kemudian nama tersebut diganti dengan nama Perrinyameng, yang berarti
setelah susah datanglah senang. Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng.
Dalam Versi Lain dari Buku I Lagaligo :
Dengan Jelas disebutkan, bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. (Yang Menentukan Takdir)
Jadi Agama Lokal To Lotang ini, adalah bukan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama Import, yang bukan lagi anggota dari komunitas To Lotang tersebut.
Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia (Karena mungkin Nenek Moyang Mereka mengalami proses tenggelamnya Atlantis Red.)3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat (Dari Nenek-nenek Moyang mereka yang selamat dari tenggelamnya Atlantis, mereka mendapat kabar tersebut Red.)4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Mungkin perlu diluruskan, bahwa Menyembah kepada Batu-batuan, Sumur, dan Kuburan Nenek Moyang, adalah Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Jadi hal ini jangan menjadikan kita menghakimi mereka adalah Animisme Dinamisme.Kalau saya boleh bertanya, apakah ada Agama di Dunia ini yang tidak memiliki Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Kaabah (Sebuah Bangunan) juga merupakan Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang).
Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-Agama-an, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan.
Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam.
Bagi Komunitas To Wani To Lotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun Sirih.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin Ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat To Wani To Lotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara (Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.
Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki), yang kini hanya dilakukan oleh anak-anak.
Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.
Dengan Jelas disebutkan, bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. (Yang Menentukan Takdir)
Jadi Agama Lokal To Lotang ini, adalah bukan Animisme atau Dinamisme seperti yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang Bugis sendiri yang sudah percaya pada Agama Import, yang bukan lagi anggota dari komunitas To Lotang tersebut.
Agama Tolotang adalah Agama yang sudah mengenal Tuhan sejak sebelum kedatangan Agama-agama Samawi di wilayah tersebut.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia (Karena mungkin Nenek Moyang Mereka mengalami proses tenggelamnya Atlantis Red.)3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat (Dari Nenek-nenek Moyang mereka yang selamat dari tenggelamnya Atlantis, mereka mendapat kabar tersebut Red.)4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Mungkin perlu diluruskan, bahwa Menyembah kepada Batu-batuan, Sumur, dan Kuburan Nenek Moyang, adalah Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Jadi hal ini jangan menjadikan kita menghakimi mereka adalah Animisme Dinamisme.Kalau saya boleh bertanya, apakah ada Agama di Dunia ini yang tidak memiliki Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi. Kaabah (Sebuah Bangunan) juga merupakan Satu Bentuk Arah Sebagai Sarana Konsentrasi.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Masyarakat Benteng (Orang Tolotang yang sudah pindah ke Agama Islam), dan Masyarakat To Wani To Lotang (Komunitas yang Masih Menganut Agama Tolotang).
Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi ke-Agama-an, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan.
Bagi Komunitas Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama seperti tata cara yang dilakukan dalam Agama Islam.
Bagi Komunitas To Wani To Lotang, prosesi kematian, melalui prosesi memandikan jenazah yang kemudian membungkus dan melapisinya dengan menggunakan daun Sirih.
Sedangkan untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang. Mereka melaksanakannya di hadapan Uwatta, atau Pemimpin Ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang.
Bagi Masyarakat To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Kelengkapan ritual masyarakat To Wani To Lotang, mereka diwajibkan membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk, yang diyakini sebagai bekal di hari kemudian. Sehingga semakin banyak sesajian yang dibawa, akan semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam harinya, mereka melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan Lontara (Kitab Sucinya orang To Lotang ) oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta.
Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng, dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang.
Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari I Pabbere. Apabila ia telah tiada, maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki), yang kini hanya dilakukan oleh anak-anak.
Semua pengikut sealiran dari berbagai desa maupun kota, berkumpul dengan Berpakaian Serba Putih-putih, Sarung dan Tutup Kepala, Untuk Para Laki-laki, Sedangkan Untuk Perempuan Mengenakan Pakaian Seperti Kebaya.
Pada saat ritual, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan, serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada Sang Pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwatta, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada Batu Leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe.
Agama Hindu Tolatang merupakan agama Suku yang masih eksis hingga saat ini selain agama kaharingan