Senin, 23 Februari 2015

Arung Matoa Wajo ke IV Puang Ri Maggalatung

0 komentar

Arung Matoa Wajo ke IV
 Puang Ri Maggalatung

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)

Disebut dalam lontarak bahwa La Taddangpare Puang Ri Maggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya. Ia juga seorang negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian, dan ahli hukum.  Kejujurannya menjalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar negerinya.

Sejak kecil La Tadangpare telah menampakkan bakat istimewa untuk menjadi negarawan dan ahli strategi perang yang sukses. Bakat itu kemudian tampak menjelang usia dewasa. Sejak kecil hingga menjelang dewasa, La Tadangpare di besarkan di istana Arung Palakka yang bernama La Tenriampa. La Tadangpare sangat dimanjakan oleh warga istana, dan sering menggangu orang-orang Palakka dan membuat keonaran.

La Tadangpare meninggalkan Palakka (Bone) bersama pengikutnya kurang lebih 300 orang menuju negeri Wajo. Setelah sampai di perbatasan Bone da Wajo, tibalah disebuah kampung di pinggiran sungai Wallenae. Di sana ia turun dan membuka pakaiannya (pangali patolanya) lalu turun ke sungai menghanyutkan pakaiannya dengan mengucpkan sumpah yang disaksikanDewata Sewwae, sumpahnya sebagai berikut:

“RI AWA! ORAI LAUK! MANIANG MANORANG, SINING LOLO, SINING LUTTU, SINING MAKKAJAE RI LA LENGNA LINOE, UPASAWE MANENGTOI PUANG NENE MANGKAUKKU ANGKANNA WALIWENGNGE DE RIGOSALINNA (Pamasareng). LESUGA PANGALIKU NATUDDU SOLO, NALESU GAU MAJAKKU MUTAMA RI WAJO. APA IYAPA TAU PADECENGI TANA PURA NANGE-NANGEYANGI GAU MAJANA, NAISSENGI MAJA NACAUKENGNGI ALENA, NAINAPPA NATOBAKENGNGI NASABBIWI DEWATA SEWAE.”

Artinya:
“Tak mungkin pakaian yang kuhanyutkan dibawa derasnya arus akan kembali dan tak mungkin pula sifat-sifatku yang buruk itu kembali akan kubawa ke negeri Wajo. Raja yang dapat menjalankan pemerintahan dengan baik ialah yang pernah berenang-berenang di dalam perbuatan jahatnya, yang diketahuinya jahat lalu bertaubat dan bersumpah akan meninggalkannya.”

Kemudia ia melanjutkan perjalannanya menuju Wajo dan mereka sampai di rumah La Tiringeng Tobata dengan selamat.
Setibanya di Wajo, La Tadangpare berkonsultasi denga La Tiringeng Tobata seputar musim persawahan dan memerintahkan kepada La Tadangpare agar memperingatkan La Pateddungi To Samallangi yang kesehariannya mengganggu gadis dan wanita yang sudah bersuami, supaya menghentikan perbuatannya. Kalau sekiranya ia tak menghiraukan dibunuh lalu dibakar untuk mempersaksikan asabnya di bumi dan di langit. Tugas itu cukup berat bagi La Tadangpare, akan tetapi demi kepentingan umum, maka ia laksanakan dengan baik dan bijaksana.

Setelah dua tahun pemerintahan La Obbi Settiware Arung Matoa ke II (1482-1487), terjadilah perang antara Wajo dengan Sekkenasu. Orang Wajo dipimpin oleh La Tadangpare sebagai panglimanya dan dibantu Datu Bola To Suniya (Raja Mawellang Ballaelo). Karena pihak orang Wajo lebih kuat maka pihak Sekkenasu mengalami kekalahan. Dalam pertempuran itu La Tadangpare menggunakan sistem bumi hangus, sehingga asap mengepul-ngepul (mallatung anrena apie). Saat itulah La Tadangpare digelar Puag Mallalatung yang kemudian menjadi Puang Ri Maggalatung. Sistem bumi hangus tersebut juga digunakan pada pertempuran ditempat lain.

Dalam lontarak milik La Tompi Ranreng Bettengpola (1:57) disebutkan bahwa ketika La Tadangpare Puang Ri Maggalatung menjalankan pemerintahan selama kurang lebih 20 tahun, daerahnya bertambahn luas. Di bagian Utara sampai di Larompong; di bagian Barat sampai Batu Lappa, Bulu Cenrana, Rappang; di bagaian Timur sampai Amali, Waktu; di bagian Selatan sampai di Lamuru, Mampu.

La Tadangpare Puang Ri Maggalatung bersama La Tiringeng To Taba meletakkan dasar pemerintahan yang bersifat demokratis di Wajo dengan melaksanakan peraturan atau hukum kejujuran. Selama pemerintahannya hanya empat kali memutuskan bicara yaitu: bicara bagi para nelayan (pakkaja), bicara bagi penyadap tuak (passari), bicara bagi para pedagang (pabbalu), dan bicara mengenai orang banyak (tau egae). Hal ini menunjukkan bahwa pada masa lalu orang wajo memiliki kesadaran hukum yang tinggi seperti seperti yang dijalankan pemerintahan sekarang.

Selanjutnya Arung Matoa Wajo ke- IV ini memfungsikan semua pejabat sesuai struktur pemerintahanyang berlaku. Pejabat pemerintahan terdiri dari; Arung Matoa, Paddanreng 3 orang, Pilla/Bate Lompo (panglima besar) 3 orang, pembicara 30 orang, dan Suro Palele/Ribateng 3 orang, kesemuanya berjumlah 40 orang dan disebut Arung Patappuloe.

Atas kejujurannya di dalam menjalankan hukum dan pemerintahan selama kurang lebih 30 tahun, maka kesejahteraan rakyat wajo amat baik, hasil pertanian melimpah ruah, ternak berkembang biak dan wilayah kerajaan bertambah luas.

Arung Matoa La Tadangpare Puang Ri Maggalatung wafat tahun 1528, dan jasadnya dibakar selanjutnya abunya disimpan dalam balubu dan diperlakukan sebagai Arung Matoa untuk memutuskan perkara-perkara. Sesuai dengan pesannya bahwa La Paturusi To Maddualeng yang ditugaskan menentukan kalah menangnya kedua belah pihak yang bersengketa sesuai arah gerak asap abunya.

Kepergian La Tadangpare Puang Ri Maggalatung banyak meninggalkan wasiat, fatwa, nasehat serta kata sulsana yang berharga yang merupakan penjelasan dalam mempergunakan cara pelaksanaan hukum pidana adat maupun perdata kepada anak cucunya. Antara lain wasiatnya dalah:

Makkedai Puang Ri Maggalatung:
“IYAPA MUALA ARUNG MATOA MALEMPUE NA MACCA, WARANIE NAMALABO. APA IYA TO MALEMPUE IYANARITU TAU MACCA. NAIYA TO WARANIE IYANARITU TAU MALABO. IYANARITU TAU SOGI. NAIYA TAU BOLAIYANGNGI SIKUWAERO UPEK ADAE, IYANARITU TAUPAWEKKE TANA.”

Artinya:
Kata Puang Ri Maggalatung:
“yang dapat dijadikan Arung Matoa ialah yang jujur dan pintar, pemberani itulah orang pemurah dan itu pulalah yang kaya. Orang yang memiliki watak demikian itu suatu pertanda orang jujur dan dapat memperbesar daerah/negerinya.

Leave a Reply

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :