Rabu, 25 Februari 2015

AGH. SANUSI BACO, Lc

0 komentar

AGH. SANUSI BACO, Lc (Ketua MUI Sulsel)

Oleh : Ahmad Risal SM, S,Pd.I
(ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id)


Biodata:

  • Nama : AGH Sanusi Baco LC
  • Lahir : Maros 4 April 1937
  • Istri : Dra.. Hj. Aminah Sanusi
  • Anak : 8 orang
  • Pendidika :

           S1 Universitas Al-Azhar Kairo –Mesir
           BA Univesitas Muslim Indonesia
           Ketua Umum MUI sulsel
           Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan
           Ketua yayasan masjid raya Makassar. [KM02]

Mengurusi Ummat Itu Menyenangkan

Berbicara soal seorang tokoh kharismatik ulama di sulsel, maka semua akan merujuk kepada seorang tokoh ulama sulsel asal Kab. Maros yakni Anre Gurutta Haji (AGH) KH.Sanusi Baco Lc. 

Maklum saja lelaki yang lahir 4 April 1937 ini sudah puluhan tahun bergelut dengan dunia dakwah. Bahkan sejak memasuki bangku sekolah menengah pertama sudah mulai mondok pesantren di Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Ambo Dalle selama delapan tahun. 

Dipesantren inilah, Sanusi Baco muda digembleng untuk menjadi seorang juru dakwah yang handal dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam. Ilmu agamanya yang diperoleh di pesantren semakin diperdalam dengan terus berguru pada kyai-kyai yang ada pada masa itu. Hingga akhirnya hijran ke Makassar untuk meneruskan pendidikannya di Universitas Muslim Indonesia (UMI). 

Dikampus ini Sanusi Baco berhasil meraih gelar Sarjana Muda (BA). Di kampus UMI pula, sanusi mulai aktif berorganisasi dengan menjadi pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Yang kemudian di percaya pemerintah untuk melatih para mahasiswa untuk ikut berjuang membebaskan Irian barat. 

“Saat itu dipanggil ke Malino untuk melatih mahasiswa yang akan ikut berjuang dalam pembebasan Irian Barat, meski saya sendiri selalu berdoa agar tidak di ikutkan,” ujarnya sambil tertawa mengenang masa mudanya.
Dia mengakui bahawa berawal dari PMII dirinya sudah mulai tertarik berorganisasi, sehingga berbagai kegiatan organisai kepemudaan dan keagamaanpun diikutinya. Inilah yang juga menjadi modal utamannya untuk menjadi pemimpin dari para ulama dan kyai di sulsel. Bayangkan saja selama 15 tahun mengurusi Majelis Ulama Indonesia (MUI) sulsel dan NU Sulsel. 

Bagi ayah 8 orang anak ini, mengurusi ummat merupakan kebahagian sendiri. Itulah yang menjadi alasan utamanya sehingga tetap bertahan untuk mengurusi organisasi keagamaan. 

“Mengurusi ummat itu menyenangkan, dan kekayaan seorang ulama itu bukalah uang, tapi adalalah ummat,” ujarnya saat ditanya alasannya terjun ke organisasi ke agamaan. 

Dia mengaku mengabdikan hidup bagi ummat merupakan impiannya sejak kecil, karenanya begitu jalan terbuka. Totalitas hidupnya diperuntukkan dalam mengurusi ummat. 

Tekadnya ini memang tidak disangsikan lagi, karena di usianya yang sudah masuk 73 tahun ini, dia masik aktif berceramah dan mengajar. Belajar dari Gusdur dan Haji Kalla. 

Memastikan diri untuk terjun totalitas mengurusi ummat dengan afliasi ke salah satu organisasi keagamaan bukanlah tanpa sebab. Meski sejak mahasiswa sudah bergabung dengan PMII,lelaki yang suka membaca ini mulai mengenai NU saat dalam perjalanan menuju ke Kairo Mesir pada tahun 1963. Saat itu kakek dari 7 cucu ini mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan studinya di Universita Al Azhar. 

Saat itulah dia mengenal cucu dari pendiri NU, yakni KH.Abdulrahman Wahid yang lebih dikenal dengan Gusdur. Saat dalam perjalanan dengan menggunakan kapal laut, pensiunan dosen di IAIN Makassar ini berkenalan dengan Gusdur yang juga akan melanjutkan studinya di Al-Alzhar. Perjalanan yang tempuh selama sebulan lebih itu, digunakan untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan Gusdur. Disinilah juga dia mengenal NU. 

“Gusdur itu moderat dan terbuka, suka membaca dan hampir waktunya dihabiskan untuk membaca,” ujarnya. 

Persahabatannya dengan Gusdur terus berlanjut, baik saat kuliah di Al-Azhar maupun setelah pulang dari Mesir. Di Al-Azhar bersama Gusdur, dirinya menjadi pengurus Mahasiswa yang berada di Al-Alzhar. Hanya saja kebersamaan mereka di Al-Azhar tidak berlangsung lama, karena Sanusi Baco harus kembali ke Indonesia, begitu dia berhasil meraih gelar sarjana. Keinginannya untuk melanjutkan ke S2 batal, karena dia minta kembali ke Indonesia setelah dirinya mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan melawan tentara Israel. 

Hari-hari Sanusi Baco pun disibukkan dengan menjadi dosen di IAIN Makassar serta menjadi pengajar di beberapa sekolah dan pondok pesantren. Namun kesibukan menjadi seorang pendidik tidak menghentikan langkahnya untuk berdakwah dan mengurusi ummat. 

Bersama Haji Kalla (ayah Jusuf Kalla), dimana Haji Kalla menjadi bendahara Masjid Raya Makassar dari Yayasan Masjid Raya yang salah satu kegiatannya melakukan pengkaderan ulama. Sarjana agama dari IAIN ia rekrut di tempat ini untuk dididik menjadi ulama. Mereka diberi fasilitas seperti tempat menginap di belakang rumah Haji Kalla. 

Haji Kalla mengundang Gurutta Sanusi Baco untuk tinggal di Masjid Raya dan diberi kepercayaan me-mimpin Masjid Raya. Tidak cuma itu, Gurutta Sanusi Baco juga sekali seminggu diminta berceramah di kantor NV Hadji Kalla. 

Di masjid itulah, Gurutta Sanusi Baco mengisi hari-harinya bersama istri yang dinikahinya pada 1968. Setelah memiliki anak kelimanya lahir pada 1976, Gurutta Sanusi Baco meminta izin kepada Haji Kalla untuk pindah ke rumahnya sendiri di Jl. Pongtiku yang terletak di belakang Masjid Lailatul Qodri Makassar. Kemudian terakhir pindah ke Jl. Kelapa Tiga, sehingga dakwahnya semakin meluas. Beberapa tahun kemudian Sanusi Baco pun menjadi Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar. Tradisi pengkaderan ulama terus dilanjutkan. 

“Saat ini sudah ada 14 angkatan dari pendidikan ulama yang di lakukan oleh masjid raya,” ujarnya. 

Suami dari Dra. Hj. Aminah (alm) mengungkapkan bahwa pengkaderan ulama itu sangat penting karena saat ini orang-orang yang paham dan mengerti agama (ulama) sudah banyak yang wafat. Sehingga diperlukan adanya regenasi ulama untuk melanjutkan penyebaran ajaran-ajaran islam.

Sosok beliau tak asing lagi bagi para penikmat nasihat,karna memang sosok yang santun dan anggun membuat beliau menjabat sebagai ketua MUI cabang Sul-Sel,sekaligus menjadi pimpinan pondok pesantren Nahdlatul Ulum http://nahdlatululum.com/,pesantren inilah yang ikut ambil bagian dan memberikan pengaruh besar untuk menciptakan karakter bangsa dengan menghasilkan seseorang yang ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Pondok Pesantren adalah salah satu sarana untuk menciptakan karakter (character building ).Di sinilah seseorang akan memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan sosial,yang gunanya nanti membentuk karakter manusia.karena masalah utama sekarang adalah krisis moral yang berujung kepada perubahan karakter manusia.

Pendidikan karakter adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dengan ini bisa membedakan mahluk lain dengan makhluk yang lain. karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama yang menyeruluh dan semangat pantang menyerah. Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia dan Perang salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang tinggi terhadap iptek hingga saat ini.kultur dasar suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut.

Seorang pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafei, melalui buku yang berjudul; Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip sesuai tulisan aslinya), menyatakan;

Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat meniru-meniru perguruan di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah) Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.

Dan apabila kita cermati bersama bahwa pendidikan pesantren lah yang dapat berperan penting dalam menciptakan karakter seseorang,dimana dipesantren seseorang harus di ajarkan kedisplinan,yang aplikasinya dalam kehidupan sangat urgen,tak kalah pentingnya juga lembaga pesantren juga yang bisa menciptakan karakter yang mandiri,dan penuh tanggung jawab.karena pesantren yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang.

Pembentukan Karakter Melalui Pembelajaran Pesantren
  
Sosok beliau tak asing lagi bagi para penikmat nasihat,karna memang sosok yang santun dan anggun membuat beliau menjabat sebagai ketua MUI cabang Sul-Sel,sekaligus menjadi pimpinan pondok pesantren Nahdlatul Ulum http://nahdlatululum.com/,pesantren inilah yang ikut ambil bagian dan memberikan pengaruh besar untuk menciptakan karakter bangsa dengan menghasilkan seseorang yang ulama yang intelek dan intelek yang ulama.

Pondok Pesantren adalah salah satu sarana untuk menciptakan karakter (character building ).Di sinilah seseorang akan memperoleh pendidikan watak, rohani, ilmu pengetahuan dan sosial,yang gunanya nanti membentuk karakter manusia.karena masalah utama sekarang adalah krisis moral yang berujung kepada perubahan karakter manusia.

Pendidikan karakter adalah sebuah proses yang tak berkesudahan yang sangat menentukan karakter bangsa pada masa kini dan masa datang, apakah suatu bangsa akan muncul sebagai bangsa pemenang, atau bangsa pecundang sangat tergantung pada kualitas pendidikan yang dapat membentuk karakter anak bangsa tersebut.

Dalam kamus umum bahasa Indonesia, karakter ialah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang dengan ini bisa membedakan mahluk lain dengan makhluk yang lain. karakter satu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan agama yang menyeruluh dan semangat pantang menyerah. Persentuhan bangsa Eropa dengan Islam melalui Spanyol, Sisilia dan Perang salib pada abad ke 11M telah membentuk karakter bangsa Eropa menjadi bangsa pembelajar sehingga mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan karya sarjana muslim di abad pertengahan, yang bermuara pada penguasaan mereka yang tinggi terhadap iptek hingga saat ini.kultur dasar suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pemahaman bangsa tersebut terhadap agama dan tradisi yang memengaruhi gaya hidup, dan pandangan hidup bangsa tersebut.


Seorang pakar pendidikan dari negeri ini, Engku M. Syafei, melalui buku yang berjudul; Dasar-dasar Pendidikan yang ditulis beliau pada 31 Oktober 1968, (dikutip sesuai tulisan aslinya), menyatakan;
Kalau disangka, bahwa timbulnya Perguruan Nasional Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah akibat meniru-meniru perguruan di Barat dan Amerika, maka hal itu tidak seluruhnya benar. Yang menjadi pemimpin utama dalam hal ini adalah: terutama sekali ciptaan (fitrah) Tuhan, yakni alam Indonesia jauh dan dekat. Dengan mengakui adanya Tuhan, sudah jelas kita mengakui akan ciptaan Tuhan.

Dan apabila kita cermati bersama bahwa pendidikan pesantren lah yang dapat berperan penting dalam menciptakan karakter seseorang,dimana dipesantren seseorang harus di ajarkan kedisplinan,yang aplikasinya dalam kehidupan sangat urgen,tak kalah pentingnya juga lembaga pesantren juga yang bisa menciptakan karakter yang mandiri,dan penuh tanggung jawab.karena pesantren yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang.

Penulis sendiri merupakan alumni pesantren yang di pimpin oleh kiayi kondang AGH.SANUSI BACO LC ini merasakan betul perubahan karakter tersebut,dari karakter yang buruk menuju suatu karakter yang bisa membuat sebuah kebanggaan yang nyata.

Berharap MUI Lebih Baik Lagi

Sebagai panutan ummat dan kyai yang penuh kharismatik Ketua Yayasan Masjid Raya Makassar ini berharap agar para ulama yang bernaung di bawah MUI bisa bersama-sama membesarkan organisasi ini. Dengan menjadikan MUI sebagai organisasi keagamaan yang memiliki kharimatik dan menjadi panutan, dimana fatwa-fatwanya benar-benar untuk kepentingan ummat,sehingga fatwa tersebut juga di dengar oleh ummat. 

Rais Syuriah PWNU Sulawesi Selatan ini menilai bahwa hidup adalah perjuangan, penuh dengan probelematika sehingga harus dihadapi. Selain itu juga dalam menjalani hidup harus berani mengambil keputusan. 

“Inilah yang selalu saya tanamkan kepada anak-anak, agar mereka tidak takut dalam menghadapi hidup,” ujarnya. 

Karena prinsip ini pula, mantan Rektor Universitas Al-gazali ini, Tahun 2001 Gurutta Sanusi Baco memberanikan diri untuk mendiri-kan pesantren Nahdlatul Ulum. Gagasan awalnya dimulai ketika Jusuf Kalla memiliki program untuk membiayai kuliah santri-santri berprestasi ke perguruan tinggi unggulan di seluruh Indonesia. Dari inisiatif itu, Jusuf Kalla mewakaf-kan tanah seluas 4 hektar di Maros yang beberapa tahun lalu diwakafkan menjadi pesantren milik NU. 

Kini pondok pesantren Nahdlatul Ulum, sudah berada di beberapa daerah seperti Jeneponto dan Takalar. Kemudian mendirikan kampus Universita Al-Gazali yang kini menjadi Universita Islam Indonesia Makassar. 

Kini di usianya yang semakin senja, tidak membuatnya berhenti untuk berdakwa. Dengan semangat untuk melayani ummat, lelaki yang menyukai lari pagi ini masih saja melayani panggilan ceramah hingga ke daerah-daerah. 

Ulama yang dikenal sebabgai sosok yang moderat dan toleran ini hanya berharap suatu saat nanti akan hadir ulama-ulama yang bisa membawa kebajikan bagi semua ummat manusia di muka bumi ini. Menurutnya sikap moderat dan toleran tidak boleh mengorbankan aqidah serta harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip agama.

Leave a Reply

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :