Gurutta H. Lanre Said
Ulama Pejuang yang Visioner.
OLEH : AHMAD RISAL SM S.Pd,I
ahmadrisalsmbizot@yahoo.co.id
Tokoh yang kita bahas kali ini adalah salah seorang ulama besar yang tidak pernah diperhitungkan oleh para penulis, peneliti, bahkan pemerintah di Sulawesi Selatan. Banyak bukti jika Gurutta Lanre Said adalah sosok ulama yang tersisihkan.
Dari sekian publikasi ilmiah yang berkaitan dengan profil para ulama berpengaruh di Sulsel, tak satu pun yang pernah mencatut nama Gurutta Lanre Said, sebutlah misalnya buku “ Tokoh Ulama Pendidik di Sulawesi Selatan” yang mencantumkan lima belas tokoh utama yang memiliki peranan dalam pendidikan yang berbasis pondok pesantren, karya gabungan dari sekian penulis yang diterbitkan oleh MUI Sulsel tahun 2007.
Begitu juga disertasi Dr. Zainuddin Hamka, “Corak Pemikiran Gurutta H. Muhammad As’ad” yang diterbitkan oleh Kementrian Agama, isinya dengan jelas menulis seluruh ulama-ulama di Sulsel yang merupakan alumni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang di bawah didikan langsung Anregurutta H. Muhammad As’ad, namun tidak pula menulis nama Lanre Said sebagai salah seorang didikan Gurutta As’ad yang juga berprestasi.
Dan yang teranyar adalah karya Abd. Kadir Ahmad yang berjudul “Ulama Bugis”, dalam buku tersebut tertulis dengan jelas nama-nama ulama yang dikenal di Bone plus pondok-pondok pesantren yang ada di daerah itu. Buku terakhir yang ‘konon’ adalah hasil penelitian yang akurat, anehnya di dalamnya tidak juga mencantumkan ‘Pondok Pesantren Darul Huffadz” yang didirikan oleh Gurutta H. Lanre Said yang berlokasi di dusun Tuju-tuju Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone, pondok yang kini menempati rangking pertama dalam prestasi dari beragam sisi, termasuk hafalan Alquran disertai penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris).
Satu-satunya publikasi ilmiah yang membedah seluk-beluk perjalan dakwah, riwayat hidup, corak pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said adalah karya Ilham Kadir “K.H. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi”.
Kelahiran dan Pendidikan
Dari sekian publikasi ilmiah yang berkaitan dengan profil para ulama berpengaruh di Sulsel, tak satu pun yang pernah mencatut nama Gurutta Lanre Said, sebutlah misalnya buku “ Tokoh Ulama Pendidik di Sulawesi Selatan” yang mencantumkan lima belas tokoh utama yang memiliki peranan dalam pendidikan yang berbasis pondok pesantren, karya gabungan dari sekian penulis yang diterbitkan oleh MUI Sulsel tahun 2007.
Begitu juga disertasi Dr. Zainuddin Hamka, “Corak Pemikiran Gurutta H. Muhammad As’ad” yang diterbitkan oleh Kementrian Agama, isinya dengan jelas menulis seluruh ulama-ulama di Sulsel yang merupakan alumni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Sengkang di bawah didikan langsung Anregurutta H. Muhammad As’ad, namun tidak pula menulis nama Lanre Said sebagai salah seorang didikan Gurutta As’ad yang juga berprestasi.
Dan yang teranyar adalah karya Abd. Kadir Ahmad yang berjudul “Ulama Bugis”, dalam buku tersebut tertulis dengan jelas nama-nama ulama yang dikenal di Bone plus pondok-pondok pesantren yang ada di daerah itu. Buku terakhir yang ‘konon’ adalah hasil penelitian yang akurat, anehnya di dalamnya tidak juga mencantumkan ‘Pondok Pesantren Darul Huffadz” yang didirikan oleh Gurutta H. Lanre Said yang berlokasi di dusun Tuju-tuju Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone, pondok yang kini menempati rangking pertama dalam prestasi dari beragam sisi, termasuk hafalan Alquran disertai penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris).
Satu-satunya publikasi ilmiah yang membedah seluk-beluk perjalan dakwah, riwayat hidup, corak pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said adalah karya Ilham Kadir “K.H. Lanre Said, Ulama Pejuang dari DI/TII hingga Era Reformasi”.
Kelahiran dan Pendidikan
Gurutta H. Lanre Said dilahirkan pada tahun 1923 M, di sebuah kampung bernama Ulunipa, Manera Salomekko Kabupaten Bone, anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Andi Passennuni Petta Ngatta dengan Andi Marhana Petta Uga. Nama kecilnya adalah Andi Muhammad Said, namun setelah masuk belajar di Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) Sengkang namanya diganti oleh Anregurutta Muhammad As’ad menjadi Lanre Said.
Beliau anak kedua dari tujuh bersaudara, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan dan didikan ayahnya, namun setelah berumur sepuluh tahun beliau dikirim untuk belajar di MAI Sengkang pada tingkat Ibtidaiyah untuk manyusul kakaknya yang terlebih dahulu telah tinggal dan mondok di sana dibawah asuhan langsung oleh KH. Muhammad As’ad.
Beliau berasal dari keluarga yang taat dalam agama dan peduli terhadap pendidikan terutama ilmu-ilmu agama, ini terbukti dari tujuh bersaudara mereka semuanya pernah belajar dan mondok di MAI Sengkang. Dikatakan bahwa ibunya pernah mendapatkan Lailatul Qadar lalu berdoa agar dikaruniai tujuh keturunan ulama yang kesemuanya hafal Alqur’an dan menjadi penghuni surga.
Lanre Said menghabiskan umurnya selama 16 tahun untuk menimba ilmu di madrasah pencetak kader ulama nomor wahid di Indonesia bagian timur ini. Beliau menempuh seluruh jenjang pendidikan yang ada di MAI, mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah hingga kelas (halaqah) khusus, kelas ini setingkat dengan perguruan tinggi. Pada tahap ini, pelajaran yang diterima dari seorang guru lebih spesifik (khusus), setiap Syekh yang kesemuanya berasal dari Timur Tengah seperti Syekh Ahmad al-Hafifi, ulama jebolan al-Azhar Cairo Mesir dan Syekh Sulaiman as-Su’ud, ulama asal Mekah Saudi Arabia. Membutuhkan pembahasan khusus siapa sebenarnya berperan penting mendatangkan para ulama yang berkaliber internasional dan memiliki keikhlasan yang tak ada duanya ini ke tanah Bugis.
Menginjak umur ke-22 tahun, Lanre Said telah menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan yang ada di MAI, selesai pada tahun 1945, dan lasngsung mengajar pada almamaternya selama empat tahun (1945-1949). Pada tahun 1949 beliau kembali ke kampung halamannya di Tuju-tuju untuk mengabdikan diri dengan mengajar dan berdakwah. Selanjutnya menyeberang ke Jampea Selayar.
Bergabung dengan NII-DI/TII
Pada tanggal 7 Agustus 1953, Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan, Abdul Qahhar Muzakkar memproklamasikan penggabungan pasukan dan daerah yang dikuasainya kedalam Negara Islam Indonesia (NII) di bawa pimpinan Kartosuwirjo yang berpusat di Jawa Barat. Dengan bergabungnya Qahhar Muzakkar kedalam NII maka secara otomatis jaringan NII ini yang telah diproklamerkan oleh Kartoswirjo pada 7 Agustus tahun 1949 bertambah luas.
Untuk menopang perjuangan NII maka Kartoswirjo membentuk angkatan bersenjata yang diberi nama Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang digunakan untuk mempertahankan eksistensinya.
Setelah dua tahun merintis sekolah dan mengajar di Pulau Jampea, 1952-1953. Bertepatan tahun diproklamasikannya penggabungan pasukan Qahhar Muzakkar dan pasukannya yang dikuasainya ke dalam NII, Lanre Said turut bergabung bersama DI/TII dengan Qahhar Muzakkar, berkat ajakan kolega-koleganya yang kesemuanya alumni MAI Sengkang.
Semasa bergabung dengan DI/TII, karirnya sangat cemerlang, bermula dengan menjadi Kepala Kepolisian DI/TII, kemudian dipindahkan menjadi Imam Tentara (setara dengan Panglima Tertinggi Angkatan bersenjata), dan yang terakhir adalah Ketua Mahkamah Agung, saat itulalah beliau tidak setuju karena merasa tanggungjawabnya sangat besar baik terhadap manusia ataupun di hadapan Allah kelak, di samping itu merasa belum pantas karena umurnya masih terlalu mudah untuk menyandang ketua MA jika dibandingkan dengan para rekannya. Namun karena pengangkatannya merupakan keputusan Musyawarah Dewan Tertinggi DI/TII dan penunjukannya langsung di bawah Qahhar Muzakkar maka Lanre Said tak kuasa menolak.
Dalam menjalankan tugasnya beliau berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain hal ini dapat dipahami karena selama bergabungnya pasukan Qahhar Muzakkar ke dalam DI/TII ini terus mendapat hambatan dari pihak pemerintah Republik Indonesia di bawah pasukan TNI. Cara DI/TII menjalankan pemerintahannya juga tergolong sederhana yaitu dibagi menjadi pusat sebagai pemegang kendali utama dan distrik sebagai perpanjangan tangan dari pusat.
Saat bertugas di daerah Bone Selatan yang bermarkaz di Bulu’ Bilalang (Kec. Patimpeng), suatu peristiwa besar dialami Lanre Said, ia bermimpi menyalakan lampu di puncak Bulu’ Bilalang dengan menggunakan petromaks (bugis: lampu strongkeng) untuk menerangi kegelepan.
Lanre Said menakwilkan mimpinya sebagai sebuah perintah dari Allah swt agar mendirikan lembaga pendidikan yang dapat memancarkan cahaya iman dan ilmu sebagai sumber penerang bagi umat. Tanpa ilmu, manusia akan menjadi gelap dan sesat tanpa arah tujuan sehingga sangat mudah disambar oleh setan dari spesies manusia dan jin.
Setelah peristiwa mimpi itu, Lanre Said terus merenung dan kontemplasi, lalu berfikir keras agar dapat mendirikan lembaga pendidikan yang berlandaskan dengan Alquran dan hadis sahih yang dapat menjadi suluh bagi kegelapan dan penerang dalam keremangan umat.
Mengejar Mimpi
Setelah Qahhar Muzakkar dinyatakan terbunuh oleh pasukan Siliwangi pada tahun 1965 maka secara total pasukan dan anggota DI/TII di bawah kekuasaannya menyerah dan ikut kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka pada tahun yang sama Lanre Said melakukan ekspedisi pertamanya, menuju Kalimantan Selatan, di sebuah kampung bernama Tanjung Salamantakan. Ia sempat mendirikan lembaga pendidikan namun masyarakat sekitar kurang peduli. Tahun 1970 Lanre Said kembali melanjutkan perjalannya ke Sumbawa dan Lombok, bahkan sempat ke Nusa Tenggara Timur tepatnya di Flores, lalu ke Surabaya di tempat para saudaranya yang lebih dulu telah merantau dan bermukim di sana.
Lanre Said tetap mengoptimalkan waktunya untuk mencari tempat yang sesuai untuk mendirikan lembaga pendidikan yang selama ini ia idam-idamkannya, beliau pernah melakukan kroscek dari satu daerah ke daerah lain sampai ke Jawa Barat tepatnya di daerah Cirebon, namun hasilnya tetap nihil.
Akhirnya pada awal Tahun 1975 Lanre Said dan seluruh keluarganya yang masih tersisa di Surabaya kembali ke Tuju-tuju, pada tahun itu juga tepatnya pada Jam 07.00, tanggal 7 Agustus 1975 yang bertempat di Tuju-tuju dengan Tujuh santri, sebuah lembaga pendidikan lahir dengan nama Majelisul Quraa’ wal Huffaz. Mimpi itu pun terwujud menjadi kenyataan. Pada tahun 1992, lembaga pendidikannya berubah nama meenjadi Pondok Pesantren Al-Qur’an Darul Huffadz atas bantuan Bupati Bone saat itu.
Hal yang tak kalah menarik dari waktu pendirian Darul Huffadz adalah sama persis dengan tanggal dimana Abdul Qahhar Muzakkar memproklamerkan bergabungnya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di daerah Sulawesi Selatan, ke dalam Negara Islam Indonesia (NII) (7 Agustus 1953), yang telah diproklamerkan oleh Kartoswirjo pada tanggal dan bulan yang sama tahun 1949.
Ini menunjukkan bahwa cita-cita perjuangan DI/TII tak pernah lekang dari sosok Lanre Said, namun metode dan caranya telah berbeda, jika dulu menggunakan senjata, maka saat ini perjuangan yang tepat adalah melalui ilmu dan pendidikan, yang dapat berjuang dengan lisan dan penanya. Bukankah pena para penulis sama mulianya dengan darah para syuhada.
Terbukti saat ini, Pondok Pesantren Darul Huffadz telah berjasa menelorkan bibit-bibit unggul generasi qurani yang bertebaran di mana-mana, berjuang sesuai seting ruang dan waktu, serta kemampuan masing-masing. Para santrinya berdatangan dari segala penjuru arah mata angin, dari Sabang sampai Merauke, bahkan dari luar negeri terutama negara Jiran. Selain mendirikan pesantren, Gurutta Lanre Said juga seorang penulis yang handal, sedikitnya ada sembilan buah buku yang beliau hasilkan. Bermula dari “Buku Taharah”, “Perintah Shalat”, “Urusan Jenazah”, “Shalat Nawafil”, hingga buku “Beberapa Masalah jilid I-V”. Dari buku-buku tersebut dapat kita telusuri corak pemikiran ulama kharismatik ini, kendati lulusan MAI Sengkang umumnya berafiliasi ke Mazhab Syafi’i namun Gurutta Lanre Said menempuh jalur berbeda, dengan terang-terang selama hidupnya tidak setuju dengan hanya perpedoman pada mazhab tertentu karena tidak memiliki dasar dari Alquran dan hadis. Oleh karena itulah beliau dikucilkan dan disisihkan bahkan banyak menganggap menyimpang. Ini pula yang membawanya berkali-kali harus berhadapan dengan pihak berwajib, setidaknya beberap kali Lanre Said ingin dibui, namun Allah tetap menjaganya, karena setiap persidangan berlangsung setiap itu pula para hakim dan jaksa penuntut mengalami peristiwa aneh yaitu mengalami muntah darah.
Sejujurnya ulama besar yang kita bicarakan ini adalah adalah pelopor pembaharu ‘kemerdekaan dalam bermazhab’, di samping memiliki keteguhan dalam membela kebenaran, dengan karakter yang radikal dan militan.
Banyak yang menilai jika Gurutta Lanre Said memiliki keistimewaan tertentu (karamatul awliya’), seperti dapat memberi makan kepada segenap santrinya yang mancapai seribu orang lebih tiap hari dengan gratis, gedung-gedung sekolah dan asrama terbangun tanpa meminta sumbangan dari siapa pun. Mungkin karena kemurnian akidah dan keikhlasannya yang tiada tara sehingga rezeki selalu datang tak terduga.
Setelah seluruh obsesi dan cita-citanya terwujud, serta mimpinya menerangi dunia dengan ilmu yang bersumber dari Alquran dan hadis shahih menjadi nyata, akhirnya wali Allah ini, pergi untuk selamanya, beliau menghembuskan nafas terakhinya pada hari Selasa 24 Mei 2005.
Pemikiran dan Nasihat-nasihatnya
Pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said dalam pandangan putra sekaligus anak didik pertamanya, DR. KH. Muttaqin Said adalah perpaduan antara sufi-salafi. Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Darul Abrar Palattae-Bone ini, pemahaman ayahnya dari aliran sufi termasuk kental, dan ini bisa dilihat dari banyaknya ritual-ritual zikir khusus yang Gurutta amalkan selama hidupnya dan zikir-zikir tersebut semuanya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Bahkan menurut pengakuan mantan dosen pascasarjana UMI ini, beliau sendiri pernah diberi zikir-zikir tersebut di atas.
Salah satu fungsi zikir dalam amalam para sufi adalah mengasah mata batin, pada tahap-tahap tertentu dapat menyentuh level kasyful mughayyabat atau dapat mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib terutama perkara-perkara yang akan terjadi. Gurutta H. Lanre Said termasuk dalam kategori ini, sebagai contoh kongkret, ketika beliau diberi mimpi berisi perintah dan petunjuk untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dapat memancarkan sinar kebenaran di bumi Indonesia. Mimpi yang kelak menjadi kenyataan, saat ini dari keturunan beliau saja setidaknya ada dua pondok pesantren yang menjadi sumber cahaya kebenaran di daerah Bone. Darul Huffadz Tuju-tuju Kajuara yang didirikan langsung oleh Gurutta dan Pondok Pesantren Darul Abrar yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Dr. KH. Muttaqin Said, putra dari Gurutta Lanre Said. Ini belum termasuk puluhan pondok-pondok pesantren yang didirikan atau dikelolah dari hasil didikan Lanre Said sendiri.
Namun perlu dicatat bahwa jenis tasawuf yang diamalkan Gurutta Lanre Said adalah tasawwuf akhlaqiy yaitu jenis ajaran tasawuf yang mengambil dari dimensi ahlak, lebih tepatnya ajaran tasawuf secara subtansial. Seperti mengedepankan keikhlasan, sabar dalam menghadapai segala bentuk cobaan, tekun beribadah, mengedepankan kesederhanaan, mendidik dengan sepenuh jiwa, mengedepankan kepentingan umum dibanding kepentingan diri dan keluarga, serta banyak lagi.
Gurutta Lanre Said bahkan sangat mencela praktik tasawuf dengan dengan amalan-amalan tarekat, karena menurutnya tidak memiliki tuntunan dari Alquran dan hadis shahih. Bahkan menurutnya sebagaimana yang terdapat dalam karya Ilham Kadir, salah satu faktor Lanre Said mencela para aliran tarekat kaerena setiap tarekat merasa dirinyalah yang paling benar, dan selain dari alirannya akan menyimpang dari kebenaran, pendapat ini menurut Lanre Said menjadikan umat berpecah-belah, untuk itulah beliau melarang keras para sanrtinya untuk menganut ajaran tarekat.
Dikemudian hari, setelah ditelusuri ternyata salah-satu sumber kekuatan pesantren yang didirkan Gurutta adalah, kemampuan sang pimpinan menghindari hal-hal yang tercela dalam pandangan agama dan dirinya, seperti menghindari berbohong walau itu cuma bercanda, mengedepankan kepentingan pesantren dari kepentingan diri sendiri. Bahkan secara pribadi, Lanre Said berpandangan jika makan tidak berjamaah adalah hal tercela baginya, untuk itulah sejak masih muda hingga akhir hayatnya tidak akan makan jika tidak berjamaah (kecuali dalam keadaan sakit), baginya makan bukan sekadar makan, karena dengan makan berjamaah seseorang dapat membuang egonya.
Pemahaman salafi dimaksud di sini adalah, mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang telah diamalkan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya, lalu turun kegenerasi berikutnya yang disebut para tabi’in (pengikut sahabat Nabi), dan tabi’ut tabi’in (para pengikut tabi’in). Mereka inilah yang disebut sebagai khaerul qurun sebaik-baik masa.
Para imam mazhab, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal adalah masuk dalam kategori sebagai para ulama salaf yang ajarannya menjadi muara pada para penganut Islam Ahlussunnah wal Jamaah saat ini.
Untuk membaca dan menelaah pemikiran keagamaan Gurutta H. Lanre Said, bukanlah hal yang sulit karena beliau memiliki banyak karya. Baik itu berupa tulisan juga dapat kita temukan dalam asas-asas aturan dan ideologi pondok pesantren Darul Huffadz yang beliau dirikan. Asas-asas tersebut masyhur disebut dalam pondok sebagai Undang-undang Dasar Pondok Pesantren Darul Huffadz yang berisi 14 poin, delapan di antaranya menyebutkan posisi pemahaman keagamaan dan kenegaraannya.
Delapan poin yang dimaksud adalah, 1. Pondok Pesantren Darul Huffadz (PPDH) tidak terikat dengan salah satu partai politik atau organisasi-organisasi massa lainnya, dengan pengertian santri tidak dibenarkan mencampuri urusan politik hanya dibolehkan mengetahui serta mengamati alur perkembangan gerak politik. 2) PPDH tidak bersandar kepada salah satu madzhab dengan pengertian santri tidak dibenarkan berfanatik madzhab, namun diharuskan menpelajari dan mengetahui pendapat setip madzhab. 3) PPDH tidak akan bekerja sama dengan golongan ingkarussunnah atau golongan-golongan sesat lainnya seperti; Ahmadiyah, Islam Jama’ah, Syi’ah dll. 4.) PPDH tidak sejalan dan searah tujuan dengan ahli bid’ah aqidah dan bid’ah ibadah. 5) PPDH tidak sejalan dan searah tujuan dengan ahli tarekat seperti; Tarekat waktu, khalwatiyah, idrisiyah, dll.6) PPDH berusaha mencari, mengetahui, dan mengamalkan tuntunan al Qur’an dan al Hadits shohih, yang telah dicontohkan atau digariskan oleh Rasulullah SAW beserta para sahabat yang dilalui oleh Ahlussunnah dari segi Ibadah dan Aqidah. 7) PPDH tetap bernaung dibawah pemerintahan yang berasaskan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 selama dasar tersebut berada dalam kemurniannya, dan 8) Santri PPDH dibebaskan dari segala pungutan administrasi seperti: biaya pendaftaran, biaya bangunan, biaya bulanan, biaya semester, biaya makan dan lain-lain, semua biaya selama menjadi santri Insya Allah dapat diusahakan sepenuhnya oleh Pimpinan Pondok Pesantren.
Gurutta Lanre Said juga memiliki pesan-pesan khusus kepada para santrinya, dengan tujuan agar santrinya kelak jika telah keluar dari pondok dan berhadapan langsung dengan masyarakat dapat memiliki pegangan dan bekal yang cukup. Nasihat seorang guru kepada anak didiknya yang layak disemat dalam jiwa lalu diamalkan, berikut adalah pesan-pesannya: 1. Kalau kalian ingin mengerjakan suatu pekerjaan pertama-tama perbaiki niat. 2) Bila ada rencana hendak mengerjakan suatu pekerjaan yang berat sebaiknya dirikan dahulu shalat istikharah atau shalat hajat dua rakaat, lalu berdo’a minta petunjuk semoga Allah memberikan kemudahan atas rencanaNya. 3) Sabar dan bertahanlah menghadapi segala tantangan dan cobaan, karena hal itu mutlak adanya. 4) Biasakan berkata benar dan jangan suka berdusta sekalipun bermain-main. 5) Bila kalian ingin memperluas dan memperdalam ilmu, lepaskanlah sifat kepanatikan, jangan fanatik guru, ulama tertentu, ataupun fanatik mazhab. 6) Pelajarilah Ilmu yang dua belas (12) karena itu dapat memudahkan untuk mengetahui isi tujuan al Qur’an dan Hadis serta kitab-kitab lainnya. 7) Pelajarilah sejarah hukum dan sejarah lainnya yang ada kaitannya dengan agama Islam. 8) Usahakan memiliki dan memperbanyak kitab-kitab, terutama kitab para Imam mazhab, dan 9) Tetaplah berusaha mengetahui dan mengmalkan tuntunan al Qur’an dan Hadis Shohih yang telah dicontohkan atau digariskan oleh Rasulullah dan para sahabat serta para ahlussunnah dari segi aqidah dan ibadah.
Selama hidupnya, Gurutta Lanre Said telah menikah sebanyak empat kali. Namun salah satu istrinya yang paling berjasa dalam mewujudkan cita-citanya adalah Hj. Andi Siti Nurhasanah yang akrab dipanggil ‘Petta Cinnong’, wanita ini bukan saja sebagai ibu rumah tangga biasa, namun juga menjadi tangan kedua Gurutta Lanre Said. Beliau adalah sosok wanita yang memiliki ragam keunggulan, selain cantik dia juga jenius dan cerdas. Wanita yang memiliki anak semata wayang (Dr. KH. Muttaqin Said) dari perkawinannya dengan Gurutta ini adalah penghafal Alquran 30 juz, menguasai ragam jenis qira’ah, pintar tarannum, menguasai bahasa Arab beserta ilmu-ilmu turunannya, cakap dalam ilmu waris (fara’id), bahkan mampu berbahasa Inggris dengan artikulasi yang baik.
Selain itu, wanita yang menjadi pendamping Gurutta H. Lanre Said selama puluhan tahun ini adalah sosok ibu yang penyabar, tutur katanya lembut, sangat dermawan, dan wanita pendidik yang agung. Keberhasilan seorang suami memang tak bisa lepas dari sosok seorang istri yang mendukung perjuangan sang suami.
Kolaborasi dari Gurutta H. Lanre Said bersama istrinya Hj. Andi Siti Nurhasanah adalah contoh pejuang agama yang sukses melahirkan generasi penerus yang berkualitas sehingga terbitlah cendekiawan muda sekaliber Dr. Syamsuddin Arif, pakar orientalisme dan aktivis Institute For The Study of Islamic Thought and Civilizations.(INSIST), Ustaz Bachtiar Nasir Lc., MM. Sekjen Majelis Ulama dan Intelektual Muda Indonesia (MIUMI), dan dan ribuan lainnya yang telah berjuang menegakkan agama Allah sesuai profesi dan kapasitasnya masing-masing. Pesantren ini benar-benar telah ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan umat dan bangsa.
Gurutta Dirikan pesantren dari mimpi Pesantren Darul Huffadh
Pondok Pesantren Darul Huffadh genap berusia 37 tahun. Pondok pesantren ini didirikan oleh Gurutta H Lanre Said pada 7 Agustus 1975 di sebuah kampung bernama Tuju-Tuju, Kecamatan Kajuara, Bone, dengan tujuh santri pertama.
Lanre Said lahir pada 1923 di desa kecil bernama Ulunipa dengan nama Said. Orangtuanya bernama Andi Passennuni Petta Ngatta-Andi Marhana Petta Uga. Beliau tumbuh dan berkembang atas didikan ayahnya di kampung yang sekarang dikenal dengan nama Manera, Salomekko. Sebagaimana dikutip dari website resmi Darul Huffadh, Gurutta H Lanre Said merupakan salah satu murid yang diajar langsung oleh AGH Muhammad As’ad di Sengkang.
Oleh ayahnya, Lanre Said dikirim belajar ke Sengkang pada usia 10 tahun. Kurang lebih 16 tahun beliau mengisi waktunya untuk menghafal Alquran dan ilmu ilmu agama serta mengabdikan diri di pondok tersebut. Di Pondok inilah beliau membangun pondasi pengetahuan agama dengan bimbingan langsung AGH Muhammad As’ad.Setelah mengabdikan diri kurang lebih empat tahun, beliau ke Selayar untuk membuka sekolah dan mengajar selama dua tahun.
Tepatnya pada 1962, dia memulai ekspedisi dakwah ke luar Sulsel. Dia bersama sekitar 26 tenaga pengajar memulai perjalanan dakwah menuju Pulau Kalimantan. Beliau berdakwah selama dua tahun setengah namun tidak ada tanda-tanda yang ditemui di pulau tersebut untuk dijadikan lokasi pendirian pondok pesantren.Maka beliau melanjutkan perjalanan ke Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berdakwah sekaligus mencari tempat yang cocok untuk didirikan pondok pesantren.
Setengah tahun disana, juga tidak ada tanggapan positif masyarakat setempat. Bahkan,Lanre Said tidak diizinkan menyentuh masjid apalagi salat di dalamnya.Dia akhirnya meninggalkan tempat tersebut dan tidak mendapatkan tempat yang sesuai untuk dijadikan lokasi pendirian pondok. Kemudian beliau berangkat ke Surabaya, Cirebon, dan Jakarta. Selama 10 tahun keliling di Pulau Jawa, belum juga mendapatkan tempat yang cocok pendirian pesantren.
Cukuplah 13 tahun lamanya Lanre Said mengadakan perjalanan untuk mencari tempat sesuai tanda-tanda yang diperlihatkan kepada dirinya melalui mimpi. Ustaz Lanre Said mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui mimpi dengan melihat sebuah lampu petromaks yang bersinar di puncak Gunung Bilala. Hal ini dialaminya pada tahun 1950 dan ditakbirkan sebagai perintah mendirikan sebuah lembaga pesantren yang khas untuk penghapalan Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam.
Pada Juni 1975, Lanre Said kembali bermimpi agar segera mendirikan pondok pada awal bulan Agustus. Akhirnya, Darul Huffadh didirikan pada 7 Agustus 1975 di Tuju-Tuju, Kajuara, Bone. Karena situasi tidak memungkinkan, pondok dibentuk menjadi sebuah majelis biasa dengan nama Majlis Qurro’ Wal Huffadz.
Pondok ini berdiri tanpa donatur pembangunan dan ruang kondusif untuk tempat pengajian. Semua hal ini disebabkan pada saat itu pemerintah tidak mengizinkan akan didirikannya pondok ini, serta masyarakat yang tinggal di sekitar pondok enggan menginfakkan hartanya untuk pembangunan pondok ini. Awalnya, tidak ada bangunan mewah yang menyertai pendirian pesantren tersebut.
Hanya sebuah rumah panggung milik Lanre Said yang dijadikan tempat belajar sekaligus sebagai tempat tinggal para santri. 17 tahun kemudian, nama Darul Huffadh baru resmi digunakan setelah diresmikan sejak didirikan pada 1975. Proses pendirian pesantren ini memang melewati proses panjang karena tidak mendapat izin dari pemerintah saat itu.
Bahkan pondok ini menjadi objek penyerangan aparat pemerintah dengan terus mengintimidasi serta berusaha menghentikan pembangunan dan pengajaran yang dipimpin langsung oleh Lanre Said ini. Ustaz H Lanre Said wafat di usianya yang ke-82 tahun, pukul 13.30 Wita, 24 Mei 2005. Beliau dimakamkan di kawasan pondok. Almarhum menitipkan amanah yang tidak ringan.
Yaitu amanah membangun kembali Darul Huffadh menuju peradaban keemasannya Alquran dan Assunnah. Menurut Direktur Kuliyatul Mu’alimin Al- Islamiyyah (KMI) Darul Huffadh Ustaz Mustari Gaffar, semua santri di pondok ini diwajibkan menghafal Alquran dan ikut serta proses belajar di KMI. Saat ini,santri KMI putra-putri Darul Huffadh tercatat hingga 700 santri dengan tenaga pengajar sebanyak 85 ustad dan ustazah.
“Alhamdulillah, proses belajar dan mengajar di pesantren ini berjalan dengan baik. Santri-santri yang belajar juga berdatangan dari seluruh penjuru daerah,” kata Ustad Mustari yang juga alumni Darul Huffadh ini. Menurut dia, pondok pesantren putri memang baru dibuka pada 1997 untuk memperlebar sayap dakwah pesantren. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler mulai dijalankan sebagai bekal bagi santri untuk menantang masa yang kian hari makin berkembang.
Mulai dari kursus bahasa,seni dan komputer,yang kesemuanya itu dikelola oleh kalangan pondok.
“Saat ini Darul Huffadh sudah membina Madrasah Aliyah Darul Huffadh,Madrasah Tsanawiyah,dan Salafiah Darul Huffadh,dan semuanya terdaftar di Kementerian Agama,” katanya.
Lanre Said lahir pada 1923 di desa kecil bernama Ulunipa dengan nama Said. Orangtuanya bernama Andi Passennuni Petta Ngatta-Andi Marhana Petta Uga. Beliau tumbuh dan berkembang atas didikan ayahnya di kampung yang sekarang dikenal dengan nama Manera, Salomekko. Sebagaimana dikutip dari website resmi Darul Huffadh, Gurutta H Lanre Said merupakan salah satu murid yang diajar langsung oleh AGH Muhammad As’ad di Sengkang.
Oleh ayahnya, Lanre Said dikirim belajar ke Sengkang pada usia 10 tahun. Kurang lebih 16 tahun beliau mengisi waktunya untuk menghafal Alquran dan ilmu ilmu agama serta mengabdikan diri di pondok tersebut. Di Pondok inilah beliau membangun pondasi pengetahuan agama dengan bimbingan langsung AGH Muhammad As’ad.Setelah mengabdikan diri kurang lebih empat tahun, beliau ke Selayar untuk membuka sekolah dan mengajar selama dua tahun.
Tepatnya pada 1962, dia memulai ekspedisi dakwah ke luar Sulsel. Dia bersama sekitar 26 tenaga pengajar memulai perjalanan dakwah menuju Pulau Kalimantan. Beliau berdakwah selama dua tahun setengah namun tidak ada tanda-tanda yang ditemui di pulau tersebut untuk dijadikan lokasi pendirian pondok pesantren.Maka beliau melanjutkan perjalanan ke Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk berdakwah sekaligus mencari tempat yang cocok untuk didirikan pondok pesantren.
Setengah tahun disana, juga tidak ada tanggapan positif masyarakat setempat. Bahkan,Lanre Said tidak diizinkan menyentuh masjid apalagi salat di dalamnya.Dia akhirnya meninggalkan tempat tersebut dan tidak mendapatkan tempat yang sesuai untuk dijadikan lokasi pendirian pondok. Kemudian beliau berangkat ke Surabaya, Cirebon, dan Jakarta. Selama 10 tahun keliling di Pulau Jawa, belum juga mendapatkan tempat yang cocok pendirian pesantren.
Cukuplah 13 tahun lamanya Lanre Said mengadakan perjalanan untuk mencari tempat sesuai tanda-tanda yang diperlihatkan kepada dirinya melalui mimpi. Ustaz Lanre Said mendapat petunjuk dari Allah SWT melalui mimpi dengan melihat sebuah lampu petromaks yang bersinar di puncak Gunung Bilala. Hal ini dialaminya pada tahun 1950 dan ditakbirkan sebagai perintah mendirikan sebuah lembaga pesantren yang khas untuk penghapalan Alquran dan ilmu-ilmu agama Islam.
Pada Juni 1975, Lanre Said kembali bermimpi agar segera mendirikan pondok pada awal bulan Agustus. Akhirnya, Darul Huffadh didirikan pada 7 Agustus 1975 di Tuju-Tuju, Kajuara, Bone. Karena situasi tidak memungkinkan, pondok dibentuk menjadi sebuah majelis biasa dengan nama Majlis Qurro’ Wal Huffadz.
Pondok ini berdiri tanpa donatur pembangunan dan ruang kondusif untuk tempat pengajian. Semua hal ini disebabkan pada saat itu pemerintah tidak mengizinkan akan didirikannya pondok ini, serta masyarakat yang tinggal di sekitar pondok enggan menginfakkan hartanya untuk pembangunan pondok ini. Awalnya, tidak ada bangunan mewah yang menyertai pendirian pesantren tersebut.
Hanya sebuah rumah panggung milik Lanre Said yang dijadikan tempat belajar sekaligus sebagai tempat tinggal para santri. 17 tahun kemudian, nama Darul Huffadh baru resmi digunakan setelah diresmikan sejak didirikan pada 1975. Proses pendirian pesantren ini memang melewati proses panjang karena tidak mendapat izin dari pemerintah saat itu.
Bahkan pondok ini menjadi objek penyerangan aparat pemerintah dengan terus mengintimidasi serta berusaha menghentikan pembangunan dan pengajaran yang dipimpin langsung oleh Lanre Said ini. Ustaz H Lanre Said wafat di usianya yang ke-82 tahun, pukul 13.30 Wita, 24 Mei 2005. Beliau dimakamkan di kawasan pondok. Almarhum menitipkan amanah yang tidak ringan.
Yaitu amanah membangun kembali Darul Huffadh menuju peradaban keemasannya Alquran dan Assunnah. Menurut Direktur Kuliyatul Mu’alimin Al- Islamiyyah (KMI) Darul Huffadh Ustaz Mustari Gaffar, semua santri di pondok ini diwajibkan menghafal Alquran dan ikut serta proses belajar di KMI. Saat ini,santri KMI putra-putri Darul Huffadh tercatat hingga 700 santri dengan tenaga pengajar sebanyak 85 ustad dan ustazah.
“Alhamdulillah, proses belajar dan mengajar di pesantren ini berjalan dengan baik. Santri-santri yang belajar juga berdatangan dari seluruh penjuru daerah,” kata Ustad Mustari yang juga alumni Darul Huffadh ini. Menurut dia, pondok pesantren putri memang baru dibuka pada 1997 untuk memperlebar sayap dakwah pesantren. Berbagai kegiatan ekstrakurikuler mulai dijalankan sebagai bekal bagi santri untuk menantang masa yang kian hari makin berkembang.
Mulai dari kursus bahasa,seni dan komputer,yang kesemuanya itu dikelola oleh kalangan pondok.
“Saat ini Darul Huffadh sudah membina Madrasah Aliyah Darul Huffadh,Madrasah Tsanawiyah,dan Salafiah Darul Huffadh,dan semuanya terdaftar di Kementerian Agama,” katanya.