Kamis, 20 Agustus 2015

Lipa Sa'bbe / Sarung Bugis

0 komentar

Lipa Sa'bbe / Sarung Bugis 


Dahulu, sarung dipakai oleh orang-orang yang berlayar di sekitar Semenanjung Malaka, dekat pulau Sumatra dan Jawa. Mengingat orang-orang yang berlayar tersebut biasanya  pada saudagar serta pedagang Muslim dari India, dan Agama Islam menyebar dari dekat pantai, maka diperkirakan bahwa dahulu sarung ditenun oleh pria-pria Muslim. Sementara dalam perkembangannya, di Indonesia sarung cukup berperan dalam kehidupan setiap lapisan masyarakat tanpa memandang umur, jenis kelamin, maupun status sosialnya. Sarung sering terlihat sebagai bawahan busana tradisonal pada beberapa daerah, juga sebagai tenunan yang bersifat sacral.

Dari sudut fungsi dan pemakaiannya, Kuncaraningrat (1986) membagi kedalam empat golongan, yaitu pakaian sematamata sebagai alat untuk menahan pengaruh dari alam sekitar, lambang keunggulan dan gengsi, lambang yang dianggap suci, serta sebagai perhiasan tubuh.Sementara dari segi sosial, secara umum sarung digambarkan sebagai kepandaian menenun seorang wanita, berdasarkan dominannya kaum wanita pada kegiatan pertenunan. Kemampuannya dalam menenun, diidentikkan dengan kesabaran, ketekunan, dan keuletan. Bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, hal ini merupakan sesuatu yang dapat dibanggakan.

Pada zaman modern ini pergeseran fungsi sarung saat ini tenunan tersebut hanya berfungsi sebagai bagian dari pakaian tradisional masyarakat setempat yang banyak digunakan dalam acara-acara adat terutama pernikahan.

Namun saat ini masyarakat Kabupaten Wajo pun sudah banyak yang tidak menggunakan pakaian tradisional mereka ketika menghadiri sebuah pernikahan. Sehingga dapat dikatakan fungsi utama dari tenunan sutra tradisional di Kabupaten Wajo saat ini lebih cenderung bersifat ekonomi. Karena tenunan gedogan ini sangat membantu ekonomi perajinnya, sebab mayoritas mata pencaharian suami mereka ialah bertani di sawah tadah hujan (agraris) sehingga ketika suami mereka bertani kebutuhan sehari-hari ditutupi oleh hasil menenun istri/anakanak wanitanya.

Ragam hias sarung sutera Lipa Sabbe

Pada tenunan sutra tradisional Gedogan diKabupaten Wajo, ragam hias (atau dalam
bahasa Bugis disebut balo) terbagi dua jenis. Yaitu ragam hias pada jalur benang pakan yang disebut balo makkaluk yang berarti ragam hias melingkar, serta ragam hias pada jalur benang lungsi disebut balo metettong yang berarti ragam hias berdiri.

Menurut Album Seni Budaya Sulawesi Selatan: Seri Tenun Budaya Bugis dan Tenun
Tradisional Bugis Makassar, pada mulanya tenunan sutra tradisional Gedogan
diKabupaten Wajo hanya mengenal tiga ragam hias geometris, yakni balo renni (kotak-kotak kecil),balo tengnga (kotak-kotak sedang), dan balo lobang/lebbak(kotak-kotak besar). Ragam hias pada tenunan sutra tradisional Gedogan khas Sulawesi Selatan umumnya memang berupa bidang kotak yang berwarna-warni yang disebut tenun palekat, yakni salah satu dari ragam hias kotak-kotak diatas maupun perpaduan dari ragam hias-ragam hias tersebut, yang terbentuk dari jalinan benang lungsi dan benang pakan yang beraneka warna. Seperti pada tenunan Mandar, ragam hias pada tenunan sutra tradisional Bugis di Kabupaten Wajo juga terbagi atas bidang kepala (puncang) dan tubuh. Dalam penggunaannya sehari-hari, bagian kepala selalu dibelakang. Kira-kira pada tahun 1920 dikenal ragam hias beso, yakni ragam hias yang dihasilkan dari teknik menarik benang tenun sehingga tergeser dari posisi jalur lurus. Dan pada tahun 1950, ada perkembangan ragam hias yang disebut panji, yang merupakan stilasi dari huruf S.

Tahun 1958, ragam hias beso dikembangkan menjadi bentuk lancip atas dasar garis
zigzag, ragam hias ini disebut balo cobo(coboartinya lancip) atau ragam hias pucuk
rebung. Dan selanjutnya lahir ragam hias jiki/subik(artinya mencukil) yang dihasilkan
dengan teknik mencukil benang pada waktu ditenun. Di samping motif-motif tersebut,
ada pula ragam hias cebang (artinya ditaburi), yang berukuran kecil-kecil dan diletakkan di seluruh bidang tenunan dengan teratur.
Perkembangan ragam hias ini tidak hanya pada bentuk namun juga pada penggunaan
warna yang tidak lagi terbatas pada warna hitam, merah, dan putih saja, melainkan juga warna-warna cerah seperti kuning, ungu, hijau, dan sebagainya. Tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo memang khas dengan warna-warna cerah yang manis dan kontras.

Pada perkembangan ini, bentuk ragam hias pun sudah mulai dipadukan dengan lebih
berani sesuai kreasi perajin. Pemaduan ini tidak dilakukan berdasarkan satu prinsip
tertentu, dan diberi nama sesuai keinginan perajin. Contohnya ragam hias balo saputangan, dimana ragam hias hanya terdapat di bagian pucangnya saja sementara bidang tenunan lainnya polos. Atau balo mapan giling
(artinya pulang kembali),
yang merupakan perpaduan dari balo panji ,jiki/subik dan beso. Sehingga, saat ini ragam hias tenunan sutra tradisional Gedogan jarang disebut lagi dengan nama-nama ragam hias dasar, melainkan dengan nama-nama baru, yang diambil dari suatu peristiwa yang terjadi pada waktu menenun.

Beberapa perajin yang ditemui di lapangan, bahkan memadupadankan beberapa agam
hias dasar dan diberi nama sesuai kejadian-kejadian yang sedang diminati saat itu,
contohnya ragam hias KDI, ragam hias AFI,ragam hias Soeharto, ragam hias Titik
Sandora, dan lain sebagainya.

Filosophy sarung sutera lipak sabbe

Filosofi yang terkandung pada tenunan sutra tradisional Gedogan di Kabupaten Wajo tidak terletak pada ragam hias melainkan pada warna, seperti berikut:
1.Bangsawan menggunakan warna merah atau hijau.
2.Gadis menggunakan warna-warna muda dan lembut seperti merah muda,
hijau muda, dan lain-lain.

3.Janda menggunakan warna-warna cerah seperti jingga.
4.Orang tua, maupun wanita yang sudah berkeluarga, menggunakan warna-
warna gelap seperti hitam, dan lain-lain.

Kain tradisional Bugis yang berupa sarung ini memiliki corak garis-garis yang cantik, dan terbuat dari sutra yang diproduksi oleh masyarakat bugis sendiri. Masyarakat Bugis dari desa Tajuncu di Sulawesi Selatan sudah menggunakan cara modern dalam pengembangbiakan ulat sutra, untuk memenuhi kebutuhan benang para penenun di desa Sempange, Sengkang yang merupakan pusat pembuatan kain tenun di Sulawesi Selatan.
Menurut legenda, masyarakat Bugis percaya bahwa keterampilan menenun nenek moyang masyarakat Bugis diilhami oleh sehelai sarung yang ditinggalkan oleh para dewa di pinggir danau Tempe. Dan di desa-desa yang terletak di pinggiran danau Tempe itulah kain tenun Bugis yang sangat bagus itu dibuat.

Bahan sandang pada masa lampau, tidak pernah bisa lepas dari fungsi sebagai pelengkap kebutuhan budaya. Ini pula yang terjadi pada kain sarung Bugis. Selain menjadi pakaian sehari-hari, kain sarung Bugis, digunakan untuk kelengkapan upacara yang bersifat sakral, juga sebagai hadiah untuk mempelai perempuan dari mempelai laki-laki.

Corak kain sarung Bugis ada beberapa macam, di antaranya adalah corak kotak-kotak kecil yang disebut balo renni. Sementara itu, corak kotak-kotak besar seperti kain tartan Skotlandia, diberi nama balo lobang. Selain corak kotak-kotak, terdapat pula corak zig-zag yang diberi nama corak bombang. Corak ini menggambarkan gelombang lautan. Pola zig-zag ini dapat diterapkan di seluruh permukaan sarung atau di bagian kepala sarung saja, adapun bagian kepala sarung justru terletak di area tengah sarung, dan sering juga corak bombang ini digabungkan dengan corak kotak-kotak.

Selain corak-corak tersebut, ada pula pola kembang besar yang disebut sarung Samarinda. Meskipun Samarinda berada di Kalimantan Timur, rupanya, kebudayaan menenun sarung di Samarinda, dibawa oleh masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kerajaan Kutai Kartanegara akibat perjanjian Bungaja antara Kerajaan Gowa dan Belanda sekitar abad ke-16. Dan orang Bugis pendatang itulah yang mengembangkan corak asli tenun Bugis, menjadi tenun Samarinda, yang kemudian malah memperkaya seni kain tradisional Bugis.

Leave a Reply

 

PALING DISUKAI

POLLING ANDA :